Enjah : Variasi yang Menyegarkan
Judul:
Enjah
Penulis:
Beng Rahadian/ Illustrator: Tomas Soejakto
Kategori:Novel Grafis
Penerbit:
Cendana Art Media
Tahun: 2013
Jujur saja, sebenarnya gw agak khawatir untuk
mengomentari komik ini. Bukan apa-apa, pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh
para pengamat, jadi obyektifitasnya lebih terjamin. Mereka juga biasanya lebih
cermat, lebih tajam analisanya. Sementara gw, gw khawatir terasa kurang etis
jika bicara terlalu jauh…(kurang etis tp tulisannya panjang gini…:P)
Tapi, baiklah, sudahlah, dilihat dari sisi baiknya saja, tapi coba
renungkan dari sisi buruk (:P). Toh, para pengarangnya sudah meminta gw untuk
berkomentar.
Pertama yang gw lakukan, ketika membuka lembar demi
lembar dari buku yang gw beli…, gw beli ini adalah….mencari kelemahannya. Seperti mas Suryorimba yang membolak-balik
halaman, gw pun melakukannya. Tapi gw mencari kelemahannya. Secara keseluruhan
tidak terlihat. Tapi pasti ada!
Sayang hingga ketika memutuskan untuk mereview-nya, gw belum
menemukannya…
Tapi pasti ada!
Ok, kita mulai baca saja. Bukankah dengan begitu kita
bisa segera…,segera melihat bolong-bolongnya? :P
:Dari segi cerita, sebenarnya gw sudah lama sekali tak
membaca komik horor. Mungkin terakhir kali membacanya di kelas 1 SD. Meski begitu, untuk
film, gw sering menyaksikannya. Hanya saja yang gw dapatkan hanyalah kejutan-kejutan
tak berkesan, bukan sesuatu yang menghantui tidur. Mungkin karena selama ini gw nonton
film horor barat yang notabene-nya berbeda kepercayaan dan budaya dengan gw.
Menurut gw, cerita horor sangat erat kaitannya dengan dua hal itu, minimal
dengan kepercayaan.
Bagaimana dengan Enjah? Terus terang gw cukup merasakan ketegangan itu. Dan yang menarik, setelah Rama
membasuh wajahnya dengan air baskom, mendadak ia menjadi orang ‘pintar’. Ternyata di sekelilingnya banyak sekali ‘peristiwa’ yang terjadi. Gw yakin kita
sendiri pun saat ini mengalami hal itu, hanya saja kita tak bisa melihatnya.
Nah, dari sini gw rasa komik ini mampu membangkit atmosfir horor, terutama bagi
para penikmatnya.
Kesan yang lain dalam membaca Enjah, gw menilai mereka
berdua sefaham dengan gw dalam menuangkan gagasan ke dalam visual. Meminimalisir
dialog dan memperbanyak rentetan adegan. Gak apa-apa komik jadi tebel, kan itu urusan si pemilik
modal. Jadi ini mirip film. Orang menyebutnya filmis. Gaya ini biasa ditemukan di komik-komik
Jepang/manga, tetapi syukurlah sang pelukis memakai gaya visual sendiri yang
jauh dari bau-bau Jepang. Memang
sebaiknya begitu, ambillah yang perlu dan buang jauh-jauh yang tak perlu.
Hanya
saja sayang, dalam Enjah kita perlu waktu lebih untuk memahami gambar. Padahal
menurut gw harus sebaliknya, gambar mempermudah segala-galanya. Ini penting,
karena begitu halaman-halaman awal terlalui dengan baik, komik itu punya
peluang untuk disukai. Tetapi jika halaman awal sudah membingungkan, kita
khawatir akan banyak yang meninggalkannya.
Sebagai
cttn : kecuali halaman 45, di mana ada penumpukan dialog, saling bersahutan.
Ini gaya komik lama yang tak pernah gw temui dari komikus “lulusan”manga. Gw
pribadi tak ingin ada lebih dari tiga balon dalam satu panel. Lebih dari tiga balon gw anggap panel itu 'mati'.
Kemudian, penulis juga pintar memainkan efek kejut.
Terutama penempatan gambar spread. Gw suka komik yang ada gambar spread, di
sini ada efek kejut, terlepas temanya apa. Ada totalitas yang lebih biasanya.
Beberapa komik, bahkan impor, gw liat lemah dalam hal ini, mungkin karena
tipis. Teksnya banyak padahal gambar
sudah “nyelonong” memberi clue tentang apa yang terjadi. Nah, lagi-lagi gaya filmis Jepang punya
keunggulan di sini.
Setting komik ini sangat jelas, Yogjakarta. Arsitektur
rumah dan gedung sudah menunjukkan. Kadang seperti menonton Losmen bu Broto.
Pintu, lemari, jendela persis seperti yang ada sesungguhnya. Sebuah kerja berat
tapi mengasyikkan, tentu saja. Gw rasa, gw sendiri tak sedetail itu.
Cttn
: Dari penggambaran tokoh makhluk halus dengan menghitamkan mata dan kerutan di
sekitar alis cukup menunjukkan komikus ini mengenal ‘medan’. Hanya, gw pribadi
lebih suka arsiran yang secukupnya saja. Arsiran yang banyak membuat komik
terasa ‘berat’. Untuk pertimbangan pasar ada baiknya sedikit memikirkan selera
pembaca yang lain. Toh kalau memang sukanya begitu, bisa ‘mengorban’kan halaman
tertentu untuk pol-polan arsir. Misalnya di halaman spread…
Akhirnya, secara umum komik ini sudah sangat baik.
Menurut gw, ini variasi yang menyegarkan dari keseragaman jenis komik yang
berserakan di pasar. Mudah-mudahan makin banyak yang bisa menerbitkan komik
seperti ini, termasuk gw sendiri.
Sebenarnya masih ada hal-hal kecil yang bisa dijadikan keluhan, misalnya glosarium sebaiknya tidak ada kecuali untuk menjelaskan kata yang perlu ruang lebih luas. Jika penjelasan hanya sepatah-dua patah kata sebaiknya catatan kaki saja. Alasannya sederhana, supaya gak bolak-balik dan pembaca bisa langsung 'tancap gas'.
Lalu, kata silahkan seharusnya ditulis silakan. Di KBBI kata dasarnya sila. Menurut gw itu kesalahan tidak seperti kata lihat yang menjadi liat, tahu menjadi tau, cepat menjadi cepet dsb. Perubahan kata menjadi lebih sederhana ini biasanya bisa menunjukkan siapa yang bicara. Apakah anak kecil, orang kecil, orang berpendidikan, pejabat, pelacur dll. Selebihnya penempatan koma...koma, ya oke deh...ga terlalu fenting.
Kini, haruskah ada pertanyaan?
Ok, jika ada...kenapa ya proses menggambar Angi merupakan yang paling sulit, sementara Tono paling mudah?
Lalu banyak kata yang dicetak tebal, kenapa ya? Gw kira itu tadinya tercatat di glosarium, tapi karena banyak gw pikir tidak mungkin...
Kini, haruskah ada pertanyaan?
Ok, jika ada...kenapa ya proses menggambar Angi merupakan yang paling sulit, sementara Tono paling mudah?
Lalu banyak kata yang dicetak tebal, kenapa ya? Gw kira itu tadinya tercatat di glosarium, tapi karena banyak gw pikir tidak mungkin...
Begitulah, temanssss.... mungkin kadang ngawur… Jika terkesan asal,
anggap aja ini tulisan penunggu waktu berbuka puasa:)
190713