Jumat, 19 Juli 2013

Enjah : Variasi yang Menyegarkan



Enjah : Variasi yang Menyegarkan


Judul: Enjah

Penulis: Beng Rahadian/ Illustrator: Tomas Soejakto

Kategori:Novel Grafis

Penerbit: Cendana Art Media

Tahun: 2013



Jujur saja, sebenarnya gw agak khawatir untuk mengomentari komik ini. Bukan apa-apa, pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh para pengamat, jadi obyektifitasnya lebih terjamin.  Mereka juga biasanya lebih cermat, lebih tajam analisanya. Sementara gw, gw khawatir terasa kurang etis jika bicara terlalu jauh…(kurang etis tp tulisannya panjang gini…:P)

Tapi, baiklah, sudahlah, dilihat dari sisi baiknya saja, tapi coba renungkan dari sisi buruk (:P). Toh, para pengarangnya sudah meminta gw untuk berkomentar.

Pertama yang gw lakukan, ketika membuka lembar demi lembar dari buku yang gw beli…, gw beli ini adalah….mencari kelemahannya.  Seperti mas Suryorimba yang membolak-balik halaman, gw pun melakukannya. Tapi gw mencari kelemahannya. Secara keseluruhan tidak terlihat. Tapi pasti ada!
Sayang hingga ketika memutuskan untuk mereview-nya, gw belum menemukannya…
Tapi pasti ada!

Ok, kita mulai baca saja. Bukankah dengan begitu kita bisa segera…,segera melihat bolong-bolongnya? :P
:Dari segi cerita, sebenarnya gw sudah lama sekali tak membaca komik horor. Mungkin terakhir kali membacanya di kelas 1 SD. Meski begitu, untuk film, gw sering menyaksikannya. Hanya saja yang gw dapatkan hanyalah kejutan-kejutan tak berkesan, bukan sesuatu yang menghantui tidur. Mungkin karena selama ini gw nonton film horor barat yang notabene-nya berbeda kepercayaan dan budaya dengan gw. Menurut gw, cerita horor sangat erat kaitannya dengan dua hal itu, minimal dengan kepercayaan.
Bagaimana dengan Enjah? Terus terang gw cukup merasakan ketegangan itu. Dan yang menarik, setelah Rama membasuh wajahnya dengan air baskom, mendadak ia menjadi orang ‘pintar’. Ternyata di sekelilingnya banyak sekali ‘peristiwa’ yang terjadi. Gw yakin kita sendiri pun saat ini mengalami hal itu, hanya saja kita tak bisa melihatnya. Nah, dari sini gw rasa komik ini mampu membangkit atmosfir horor, terutama bagi para penikmatnya.

Kesan yang lain dalam membaca Enjah, gw menilai mereka berdua sefaham dengan gw dalam menuangkan gagasan ke dalam visual. Meminimalisir dialog dan memperbanyak rentetan adegan. Gak apa-apa komik jadi tebel, kan itu urusan si pemilik modal. Jadi ini mirip film. Orang menyebutnya filmis. Gaya ini biasa ditemukan di komik-komik Jepang/manga, tetapi syukurlah sang pelukis memakai gaya visual sendiri yang jauh dari bau-bau Jepang.  Memang sebaiknya begitu, ambillah yang perlu dan buang jauh-jauh yang tak perlu.

Hanya saja sayang, dalam Enjah kita perlu waktu lebih untuk memahami gambar. Padahal menurut gw harus sebaliknya, gambar mempermudah segala-galanya. Ini penting, karena begitu halaman-halaman awal terlalui dengan baik, komik itu punya peluang untuk disukai. Tetapi jika halaman awal sudah membingungkan, kita khawatir akan banyak yang meninggalkannya.
 
Sebagai cttn : kecuali halaman 45, di mana ada penumpukan dialog, saling bersahutan. Ini gaya komik lama yang tak pernah gw temui dari komikus “lulusan”manga. Gw pribadi tak ingin ada lebih dari tiga balon dalam satu panel. Lebih dari tiga balon gw anggap panel itu 'mati'.

Kemudian, penulis juga pintar memainkan efek kejut. Terutama penempatan gambar spread. Gw suka komik yang ada gambar spread, di sini ada efek kejut, terlepas temanya apa. Ada totalitas yang lebih biasanya. Beberapa komik, bahkan impor, gw liat lemah dalam hal ini, mungkin karena tipis. Teksnya banyak padahal gambar sudah “nyelonong” memberi clue tentang apa yang terjadi.  Nah, lagi-lagi gaya filmis Jepang punya keunggulan di sini.
Setting komik ini sangat jelas, Yogjakarta. Arsitektur rumah dan gedung sudah menunjukkan. Kadang seperti menonton Losmen bu Broto. Pintu, lemari, jendela persis seperti yang ada sesungguhnya. Sebuah kerja berat tapi mengasyikkan, tentu saja. Gw rasa, gw sendiri tak sedetail itu.


Cttn : Dari penggambaran tokoh makhluk halus dengan menghitamkan mata dan kerutan di sekitar alis cukup menunjukkan komikus ini mengenal ‘medan’. Hanya, gw pribadi lebih suka arsiran yang secukupnya saja. Arsiran yang banyak membuat komik terasa ‘berat’. Untuk pertimbangan pasar ada baiknya sedikit memikirkan selera pembaca yang lain. Toh kalau memang sukanya begitu, bisa ‘mengorban’kan halaman tertentu untuk pol-polan arsir. Misalnya di halaman spread…
Akhirnya, secara umum komik ini sudah sangat baik. Menurut gw, ini variasi yang menyegarkan dari keseragaman jenis komik yang berserakan di pasar. Mudah-mudahan makin banyak yang bisa menerbitkan komik seperti ini, termasuk gw sendiri.

Sebenarnya masih ada hal-hal kecil yang bisa dijadikan keluhan, misalnya glosarium sebaiknya tidak ada kecuali untuk menjelaskan kata yang perlu ruang lebih luas. Jika penjelasan hanya sepatah-dua patah kata sebaiknya catatan kaki saja. Alasannya sederhana, supaya gak bolak-balik dan pembaca bisa langsung 'tancap gas'.
Lalu, kata silahkan seharusnya ditulis silakan. Di KBBI kata dasarnya sila. Menurut gw itu kesalahan tidak seperti kata lihat yang menjadi liat, tahu menjadi tau, cepat menjadi cepet dsb. Perubahan kata menjadi lebih sederhana ini biasanya bisa menunjukkan siapa yang bicara. Apakah anak kecil, orang kecil, orang berpendidikan, pejabat, pelacur dll.  Selebihnya penempatan koma...koma, ya oke deh...ga terlalu fenting.

Kini, haruskah ada pertanyaan?
Ok, jika ada...kenapa ya proses menggambar Angi merupakan yang paling sulit, sementara Tono paling mudah?

Lalu banyak kata yang dicetak tebal, kenapa ya? Gw kira itu tadinya tercatat di glosarium, tapi karena banyak gw pikir tidak mungkin...


Begitulah, temanssss.... mungkin kadang ngawur… Jika terkesan asal, anggap aja ini tulisan penunggu waktu berbuka puasa:)

190713