Sabtu, 25 Juli 2015

The Book Thief (2013)


Kebetulan selama libur lebaran ini gw menghabiskan waktu dengan menonton beberapa film berlatar belakang Nazi Jerman. Baik yang sudah pernah ditonton mau pun yang baru pertama kali gw tonton. Kesemuanya bukanlah film perang, hanya berlatar belakang perang. Salah satunya The Book Thief ini...

Kisah dibuka dengan dipungutnya Liesel Meminger oleh keluarga Hubermann yang tak memiliki anak, Hans dan Rosa Hubermann. Liesel dipungut atas alasan tunjangan dari pemerintah. Liesel sendiri terlepas dari ibu kandungnya karena tuduhan komunis. Mereka tinggal di sebuah gang dengan kondisi serba kekurangan, menjelang meletusnya Perang Dunia II.

Kehadiran Liesel sebagai anggota baru keluarga Hubermann menarik perhatian Rudy, anak tetangga. Mereka sebaya, sama-sama belum dua belas tahun. Segera saja Rudy menempel "gadis tetangga" ini. Selalu membarengi setiap pergi ke sekolah. Rudy terobsesi menjadi pelari internasional. Idolanya Jesse Owen, atlet kulit hitam. Saking mengidolakannya, Rudy sampai mencoreng-coreng kulitnya dengan cat supaya terlihat hitam. Suatu tindakan bodoh di zaman serba rasis itu.

Menarik melihat kisah anak-anak Jerman di zaman itu, ketika pemerintah dengan gencar mempropagandakan ide-ide ngawurnya, diamini rakyatnya tanpa sedikit pun keberanian menentang. Liesel dan Rudy "dipaksa" menghafalkan lagu-lagu wajib sekolah yang liriknya dipenuhi kebencian pada ras lain selain Arya (celakanya, terdengar indah). Tentu saja terhadap ideologi lain juga, termasuk komunis, yang membuat Liesel menjadi teringat ibu kandungnya.

Film ini (atau novelnya) diberi judul "Pencuri Buku" karena keinginan kuat Liesel untuk dapat membaca. Ia amat menyenangi buku, sementara untuk membeli tentu sulit bagi keluarga seperti mereka. Liesel sudah mencuri buku sebelum ia mampu membaca. Hans yang menyadari keinginan kuat putrinya memberikan ruang khusus bagi Liesel untuk belajar, yaitu di ruang bawah tanah rumah mereka. Liesel belajar dengan tekun meski kemudian keluarga mereka menyembunyikan pelarian Yahudi di ruangan itu. Tetapi dari Yahudi itu pula Liesel banyak menerima pengetahuan baru...

Film ini menjadi menarik karena juga merekam pandangan anak-anak terhadap kondisi sosial politik mereka. Hanya, kalo boleh ngeritik, setidaknya ada dua adegan yang seharusnya gak perlu ada.
Pertama, Ibu sampai harus datang ke sekolah untuk "membisiki" Liesel bahwa Yahudi yang mereka sembunyikan telah sembuh dari sakitnya. Mereka memang amat menyayangi si Yahudi. Tetapi bukankah kabar baik itu bisa ditunggu saja sampai Liesel pulang ke rumah? Kenapa harus menempuh resiko didengar oleh orang lain dengan bertemu di sekolah?

Kedua, Hans, meski sudah tua ia tetap diwajibkan mengikuti wajib militer. Ia bergabung dengan banyak anak-anak muda dan malah jadi bahan olok-olok. Ia akhirnya dipulangkan setelah truknya terkena ledakan, meski secara fisik ia baik-baik saja. Rasanya ini hanya memperpanjang durasi film saja...



Tetapi overall film ini tetap menarik diikuti, terutama bagi pecinta drama berlatar sejarah....

Haruskah Ilustrator Diperlakukan "Kejam"?


Orang bilang, dunia sepak bola adalah bisnis yang paling kejam di dunia ini. Setidaknya untuk saat ini. Seseorang bisa dikontrak hari ini, dipecat besoknya, dikontrak lagi di hari berikutnya, dan berakhir pada pemecatan lagi. Pemilik modal biasanya berlindung pada payung bernama "profesionalisme". Kata "profesionalisme" ini bermakna jauh dari sifat-sifat baik seseorang. Jauh dari persaudaraan, jauh dari pekoncoan, jauh dari nostalgia, jauh dari kesukuan, ras, agama dsb....Hanya satu kata yang bisa disandingkan dengan kata "profesionalisme", yaitu "prestasi". Ada "prestasi" semua beres. Nggak ada "prestasi", ke laut aja...begitu kira-kira...

Tahun 2007 gw bergabung pada perusahaan yg bergerak pada industri kreatif. Produk andalannya ketika itu berupa majalah dan buku-buku untuk anak-anak. Gw bergabung sebagai redaktur di sana, bukan ilustrator. Alhamdulillah, ketika interview gambar gw kurang diminati, sehingga pimpinan redaksinya setengah "memaksa" gw ditempatkan pada divisinya, alih-alih sebagai ilustrator. Kenapa demikian, karena sepintas lihat, gw merasa tak begitu nyaman bekerja sebagai ilustrator. Sejak hari itulah, bermula dari "dijeblosin" pemred, karir panjang gw sebagai penulis dimulai, bukan sebagai pereka gambar.

Ilustrator di sana ketika itu berjumlah (-+) 20 orang, 11 orang peninta, 10 orang colorist, 3 orang layouter dan beberapa desainer. Total jumlah kami dalam satu kantor itu lebih dari 50 orang (bahkan terakhir di sana jumlah kami nyaris 100 orang). Dengan jumlah orang sebanyak ini, tentu merupakan kekuatan besar. Dan mungkin paling besar dalam dunia industri cetak di Indonesia. Menggelinding tiap hari, melumat kiloan kertas dan menggores puluhan liter tinta guna menghasilkan produk unggulan berkat sistem kerja "roda berjalan". Siapa yang bisa menghalangi? Pada saatnya nanti, kami pasti menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah studio besar yang akan dijadikan model oleh studio2 yang lain.

Setelah berlalu delapan tahun, benarkah demikian?

Secara hirarki, redaksi adalah "otak"nya penerbitan. Kebetulan, ketika gw bergabung, tim redaksi kami terdiri dari orang hebat-hebat. Salah satunya Muhammad Yosaf ( mantan Wizard Indonesia). Kami seharusnya komandan dalam sebuah batalion. Tetapi faktanya tak seperti itu...Komandan hanya satu orang di perusahaan itu. Kamu gak boleh angkat dagu hanya karena ada di redaksi, dan gak bisa merasa lebih cerdas karena keluaran kampus. Ilustrator adalah aset utama dalam perusahaan itu, terlepas dari mana asal mereka. Itu tidak penting.

Di majalah Gatra (atau Tempo?) Bung Karno pernah memohon agar seniman yang terlibat gerakan PKI diselamatkan. Karena, untuk mendapatkan seorang seniman itu susahnya minta ampun. Kalo sarjana banyak, tiap tahun berjejal mencari kerja. Kalo seniman? Belum tentu. Jadi, mengamini ucapan proklamotor kita, ilustrator di perusahaan itu adalah "anak emas".

Ngiri? Nyesel? Ternyata tidak juga....

Owner menganakemaskan ilustrator, itu benar. Tapi dia juga waspada akan otak bulus seniman. Dia pelajari betul sampai ke akar-akarnya, apa yang seniman inginkan. Yaitu tak lain dan tak bukan adalah karya pribadi.

Karya pribadi ini, duri dalam daging bagi perusahaan. Yang membuat seseorang tertatih-tatih. Tidak ada darahnya, tapi tak bisa berlari. Oleh karena itu, ia pun membuat beberapa antisipasi.
Pertama, target harian tinggi. Hampir di luar akal. Seorang ilustrator harus menyelesaikan dua halaman A3 dalam sehari. Nggak selesai maka nggak pulang.

Hari kerja termasuk Sabtu, setengah hari. Tujuannya agar mempersempit peluang ilustrator mengerjakan hal lain di luar pekerjaan kantor. Jadi, belum-belum pasti udah "teler" sampai di rumah. Libur satu setengah hari nggak akan efektif digunakan. Belum lagi, hari Minggu diisi dengan keundangan, acara keluarga dll...

Ketika banyak laporan masuk menunjukkan penurunan kinerja, maka jam pulang diundur. Dari biasa pulang maghrib, mundur ke jam sembilan malam. OB ditugasi memesan nasi bungkus untuk makan malam bersama. Benar-benar ketiban rezeki kantin atau warung yang dijadikan langganan. Setidaknya nasi bungkus untuk 50 orang menggelinding masuk ke pelataran parkir perusahaan tersebut, setiap hari!

Bagi ilustrator nakal, maka turun perintah untuk "disekolahkan". Maksudnya, yang lain sudah pulang dia tidak, alias nginep. Owner akan datang jam 11 malam untuk sekedar melihat, dia masih bungkuk di belakang mejanya atau tidak. Jika tidak, gaji adalah taruhannya.

Ketat aturan tetapi kompensasi gaji bagi ilustrator memang nggak main-main. Rata-rata mereka (maaf) bukan keluaran sekolah tinggi. Namun gajinya bisa melampaui mereka yang beruntung memiliki ijazah. Ada dua sistem gaji dalam sebulan, yang kata bokap gw, ini menyontek gaya lama pegawai negeri.

Gaji utama ada di amplop putih (atau rekening). Itu jumlah yang masif, nggak akan diutak-atik. Gaji kedua ada di amplop coklat, kami menyebutnya "brownies". Yang brownies ini jumlahnya bener2 mengacu pada performa kita setiap bulan. Jadi ketika memuaskan, maka browniesnya tebal. Ketika ngeyel dan macam-macam, browniesnya tipis. Bahkan bisa hilang.

Bokap gw menceritakan, yang coklat itu, zaman dia kerja, sering disebut "uang laki". Karena istri biasanya hanya tahu yang putih. Karena para suami biasanya menyetor pada istri setiap habis gajian, maka seringkali suami tak lagi pegang uang lebih. Brownies ini membantu suami untuk bisa punya uang lebih. Meski begitu, setelah belasan tahun kerja, banyak para suami yang sudah kaya tanpa sepengetahuan istri. Tak jarang uang dari amplop coklat ini dijadikan modal untuk mencari istri muda

Salahkah pimpinan perusahaan itu menerapkan aturan di atas?
Sebagian besar dari kita mungkin berkata, "Gila! Gw ogah ada di sana!"
Tetapi kalau mau fair, dia tidak salah juga. Karena apa, karena sifat selfish kita. Sifat narsis kita, yang sering kali menjadi tempat kerja hanya batu loncatan. Kerjaan sebulan molor jadi dua-tiga bulan. Direvisi, alasan macam-macam. Prilaku asal "antar", "ojek" istilah lainnya."Supir taksi" istilah kami, telah membuat banyak orang yang kecewa, kapok dan bersumpah serapah. Coba tanya ke editor2 kalian yang pernah bekerja sama, pasti mereka senyum kecut. Gw memang berada di tengah, seperti tugas redaksi saat itu, menjembatani antara kemauan owner dan kegelisahan ilustrator. Gw sendiri bukan berarti tak pernah jadi sasaran tembak. Tahun 2010 gw menerbitkan Bengal (220hal), yang membuat beberapa atasan gw disemprot.
"Kenapa dia bisa ngerjain komik sendiri?! Pagi ada, siang ada, malam juga ada!" begitu atasan gw cerita. "Kapan bikinnya?"
Ditiup-tiup?

Selasa, 21 Juli 2015

Anak yang "Luar biasa" (1995)


Sebelum ada komunitas komik, komikus kayak gw bisa dibilang berjuang sendirian. Apalagi gw bukan anak seni. Alhasil, setiap selesai ngomik, gw hanya bisa meminta pendapat dari teman-teman dari kalangan kebanyakan. Mereka adalah para tetangga yg biasa nongkrong-nongkrong, ngerokok, gitaran di lapangan. Gw biasa bertemu mereka sepulang dari foto copy dan mereka ingin melihat karya gw. Sekedar iseng, pastinya. Gw tentu saja ga keberatan. Toh, gw memang butuh komentar dari seseorang. Sayangnya sejauh itu komentarnya selalu seragam, "baguuuuuss..." gak lebih.

Karena “kecewa”, gw sempat ngilang dari pandangan mereka. Lebih baik mendengarkan diri sendiri, begitu pikir gw. Hari-hari berikutnya gw memilih segera pulang jika bertemu mereka lagi. Tetapi, setelah sekian lama, gw gak enak juga jika selalu menghindar begitu. Ada baiknya gw beri mereka '"kesempatan" lg, dan siapa tahu secara tak sengaja terlontar pendapat mereka yg benar-benar gw butuhkan.

Salah seorang yang nongkrong2 itu memanggil, kek jagoan. Di luar dugaan, dia bukan ingin melihat karya gw. Dia ingin memberi informasi bahwa di antara mereka ada anak baru dari perumahan sebelah, namanya ET. ET ini katanya mahasiswa seni yg juga senang komik. Teman gw berpikir, mungkin gw bs diskusi dengannya. Kebetulan, jawab gw! Gw senang sekali mendengar hal itu dan langsung titip pesan, jika dia datang tolong kasih tahu bahwa gw ingin bertemu. Akan gw undang ke rumah, kapan aja ET mau.

Singkat cerita, suatu siang ET datang ke rumah. Kami ngobrol banyak tentang seni, terutama anatomi. Sayangnya, dia bukan orang yang enak diajak ngobrol. Bukan gw sombong atau apa, tapi dia terlalu lebay dalam menyikapi sesuatu.
Sebelum bicara dia selalu membuka komentarnya dengan kata-kata seperti "Ciiiiieeeeeeeeee.....!" atau "Weeeiiiiiisssssssssssssss....!"

Ketika pertama kali gw sodorin karya gw, "Kereeeeeen, " serunya, padahal belum benar2 liat!
Terus ketawa ngakak, padahal gak ada yang pantas untuk ditertawakan. Ketika pembokat gw kasih minum dan gorengan buatan sendiri, dia puji-puji rasanya setinggi langit. Setinggi langit, hanya untuk gorengan....
Gw sedih banget...Gw mulai berpikir bahwa gw akan sendiri lagi.

Tapi setelah ia melahap gorengan, tiba-tiba dia konsen banget. Lalu kritik-kritik tajam secara brutal meluncur bak torpedo. Seolah dia tahu jika gw mulai meremehkannya.
Dia bilang, cara bikin wajah tuh gini! Jarak antar mata, hidung, mulut..., lalu tinggi cowok tuh sekian, cewek sekian!

"Ini! Tangan nih cewek, kegedean, Bay!" katanya tanpa segan. "Tangan cewek tuh jenjang! Ga padat gini!" jelasnya sambil mengencangkan lengan.
Banyak sekali kritik yg dilontarkan yang membuat gw shock abis. Muka gw merah karena malu. Tp gw tahan aja, karena dah janji sama diri sendiri, harus menghargai orang yg sudah mau mengapresiasi. Ibarat petinju, gw petinju yang masih dipukuli setelah bel berbunyi. Benar-benar mabok pukulan. Sudah pasti marah dan tersinggung, tp tak berdaya.

Malam itu juga gw terus memikirkannya. Benarkah semua kritiknya? Masih terngiang komentar dari teman-teman dulu yang justru kebalikan dari komentar ET. Siapa yg bohong, teman-teman atau ET? Gw coba kuatkan diri untuk menerima ET sebagai pihak yang benar ! Gw ga boleh terjebak dalam kebodohan dan mabok oleh pujian teman-teman. Akhirnya, sampai pagi gw revisi semua gambar gw seperti yang ET bilang. Dan benar, setelah gw revisi, semuanya berubah. Wawasan gw seakan terbuka lebar, gambar gw terasa lebih proporsional. Ibarat orang rabun yang diberi kacamata, langsung terang. Gak pake ampun, ET membuktikan betapa pentingnya sebuah kritik!

Di sisi lain, kakak gw sempat lewat ketika ET bertandang. Tak sampai seminggu kemudian, justru kakak gw yang main-main di perumahan ET. Tak banyak yang ia kenal di perumahan itu, hanya bekas teman SMA-nya. Ia duduk-duduk di teras rumah bersama temannya saat ET lewat. Kakak gw bergumam, "Hoo.., ini temannya adik gw, nih!”
Teman kakak gw yg nyaris ketiduran di teras itu bangun. "Hah, d...dia teman adik lo?!"
"Iya.., kemarin gw liat ke rumah gw. Mang knapa?"
Teman kakak gw tertawa tertahan. "Ha...haha! Haha..., dia'kan...dia'kan anak SLB!"

Malamnya kakak gw pulang dan langsung menemui gw. Dia ceritakan semuanya yang ia dengar dari temannya. Gw terbengong-bengong. Apa iya? Kok? Kok bisa ngeritik sehebat itu? Melebihi teman-teman gw yg normal. Hari-hari berikutnya gw coba cari ET dan bertanya-tanya pada teman-teman. Heran, dia nggak pernah muncul lagi hingga hari ini! Gw pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk, gw diajarin anak SLB!

Beberapa tahun kemudian, gw mulai tergabung dalam komunitas komik MKI. Gw sempat menceritakan kisah ini di sana. Mereka yang mendengar tertawa-tawa. Namun, salah satu anggota mencoba meluruskan (mungkin sekalian membesarkan hati gw), bahwa anak SLB itu gak melulu serba minus. Bisa jadi justru serba plus...plus...dan plus! Gw seharusnya menyesal karena ga bs ketemu lagi, bukan menyesal telah diajari.

Ketika itu gw ga lagi peduli apakah dia plus atau minus. Kritikannya kena, dan itu yang gw butuhkan. Dia telah mengajarkan gw untuk mau mendengarkan orang lain, darimana pun sumbernya. Dia meruntuhkan ego gw tapi tidak mematikan. Dia telah berjasa tak hanya pada kemajuan karya gw, tp gw sebagai manusia secara keseluruhan. Kelapang dada-an yg secara gak langsung dia ajarkan membuat gw lebih mudah kompromi terhadap banyak hal di dunia ini.

Thx ET, di mana pun loe berada sekarang, plus atau pun minus...:)
NB : Satu hal yang terus jadi pikiran gw, jika dia serba plus, kenapa teman kakak gw bereaksi begitu? Tertawa yg tertahan..., "Haha...haha..., dia kan..." (Preeeet!)

Selasa, 24 Februari 2015

Bali dan Film Semi 1975

Gw gak tau ceritanya gmn, baru tau juga soalnya...ternyata Bali pernah jadi lokasi syuting film semi terkenal berjudul Emmanuelle, tahun 1975. Ini film sekuel kedua dari Emmanuelle yg total berjumlah tiga. Pemainnya cantik sekali, Sylvia Kristel (udah gak ada, 2012). Di film ini, Sylvia dkk naik truk bersama rombongan siswi SMP beserta gurunya. Para siswi bernyanyi lagu Indonesia... Lalu sama-sama nonton tarian kecak yg mengagumkan. Rupanya, transportasi di Bali saat itu truk beneran, seperti ngangkut pasir, hehe...
Film ini tergolong kontroversial untuk zaman itu, di mana sex, drugs, rock n roll jadi simbolnya....Sekarang? Gak tau juga, terserah sampeyan :). Masalahnya, pemerintah Orba kok bs ngizinin, ya???

Kamis, 04 Desember 2014

Thriller Movies & Erotic Thriller

Eh, tau gak…dari remaja gw sudah tertarik film2 seperti ini...

Doeloe, setelah TV swasta lepas dari dekoder, RCTI dan SCTV sepertinya memilih "jalan" yang berbeda dalam hal penayangan film. Yang seneng film fantasi, action, superhero, silakan tunggu di RCTI. Sementara SCTV, entah mungkin kalah bersaing atau kalah cepet, mereka sepertinya kemudian konsen ke film-film yang justru lebih gw tunggu, thriller drama kriminal. IMDB tidak menyebut secara spesifik, biasanya disebut Crime, Thriller, Drama. Kadang ditambah Romance. Kalau kalian googling, Crime Movies, itu bias sekali. Kalo ketik Thriller Movies, yang muncul sebagian besar adalah Gore atau horror movies. Kalo ketik Drama Thriller, film bernuansa politis bisa muncul. Kalo ketik Thriller saja, yang muncul Michael Jackson, hehehe…..Genre ini memang nggak seperti superhero yang udah berarti jagoan-jagoanan berkemampuan lebih. Atau horor yang udah jelas hantu-hantuan.
Thriller drama kriminal populer sekali tahun 90an, Yah, gak aneh, produk 90an disuka anak yang tumbuh tahun 90an juga. Bahkan Thriller drama kriminal kemudian mempunyai cabang, yakni erotic thriller, berkat kesuksesan Basic Instinct. Erotic thriller dari esensi cerita sama aja dengan thriller drama kriminal, bedanya unsur erotisnya diperbanyak. Sayangnya kemudian, produser2 kelas menengah/bawah latah ikut2an. Namun, skripnya caur dan hanya menonjolkan adegan seksnya saja. Tetapi pada dasarnya semua sama, tinggal berapa porsi adegan syurnya , sekuat apa skripnya, dan siapa aktornya.

Gw kasih clue tentang film-film seperti ini. Hampir semua aktris besar, pernah membintanginya. Tentu saja yang Thriller drama kriminal, bukan yang erotic thriller.
Nicole Kidman, Julia Roberts, Angelina Jolie, Michelle Pfeiffer, Jodie Foster, semua....Tante-tante itu, minimal sekali, pasti pernah meranin tante-tante (halah!). Maksudnya, peran keseharian dari mereka yang berstrata (biasanya) menengah ke atas.
Misalnya, ibu rumah tangga yang bahagia dengan suami dan anak. Tapi kemudian hadir orang ketiga yang mencoba merusak kebahagiaan itu. Orang ketiga itu, biasanya juga bukan orang jauh. Bisa bekas teman sekolah, teman kantor, tetangga,supir, tukang kebun dll....

Yah, cerita-cerita semacam itulah...Dulu marak sekali, banyak pilihan. Sekarang sepi…, tapi suatu saat pasti kembali lagi:)

Rabu, 29 Januari 2014

Escape From Alcatraz (1979)



Belum lama ini nonton lagi Escape From Alcatraz. Dulu pernah nonton, tp kurang menghargai apa yang terkandung di dalamnya. Sekarang? Lumayan, makanya gw tulis...

Belakangan memang jadi demen film tentang penjara, meski amit-amit ya, kalo sampe bermalam di sana. Demen bukan berarti mau merasakan, hanya ingin memperluas pengetahuan aja. Film tentang penjara lainnya yg patut dicermati adalah The Shawsank Redemption (1994). Berbeda dengan The Shawsank Redemption, Escape From Alcatraz adalah kisah nyata.

Dalam Escape From Alcatraz, kita dikenalkan pada penjara terkejam di AS.
Jika kamu melanggar aturan dalam masyarakat, maka kamu dikirim ke penjara. Jika kamu melanggar aturan penjara, maka kamu dikirim ke Alcatraz. Begitulah ucapan "selamat datang" kepala penjara saat Frank Morris (Clint Eastwood) pertama kali tiba. Hal lain yang membedakan, di Alcatraz tidak ada remisi dan satu kamar hanya diisi seorang napi...

Alcatraz merupakan sebuah pulau tak jauh dari San Fransisco. Ada sebuah teluk yang menjadi pemisah. "Track record"-nya belum pernah ada napi yang berhasil melarikan diri dari lembaga itu. Memang, kota San Fransisco tidak terlalu jauh, bisa saja seseorang berenang melintasinya. Namun dinginnya udara dipercaya akan membekukan tubuh hanya semenit saat di dalam air.

Frank Morris bukan orang yg mudah jiper dengan keangkeran Alcatraz. Dia segera mendapat teman karena perangainya yang tegas, termasuk caranya menghadapi jagoan penjara gemuk yg homo, yang makin nafsu justru setelah ditolak. Morris mempelajari semua kemungkinan untuk bisa melarikan diri. Ia mengontak temen-temennya yang bekerja di bengkel untuk dibuatkan macam-macam alat dan diselundupkan ke selnya. Termasuk cara membuat topeng-topengan dari karton. Kebetulan, sebelumnya ia mengetahui dinding-dinding penjara sudah mulai rapuh dimakan air laut. Itu sebabnya, ia yakin meloloskan diri bukan hil mustahal.

Disamping itu, di tengah ketegangan, kita sedikit dihibur dengan aktivitas napi yang punya hobi melukis. Ternyata ada kelonggaran juga di sana, napi boleh sesuka hati melukis. Terbayang juga, mungkin boleh juga bikin komik di situ. Kalau gw ada di sana, gw pasti tetap membuat komik. Dan dalam waktu tertentu editor gw panggil, kita asistensi di penjara. Asyik juga, ya. Apalagi, di sel itu, kita hanya sendirian. Bagi yang punya hobi sebenarnya, Alcatraz rasanya bukanlah tempat yg terlalu menyeramkan...
Sayangnya, kembali lagi ke kisah di film, kepala penjara tak senang ketika wajahnya dijadikan objek lukisan. Kebebasan si seniman untuk melukis dicabut yang berujung rasa frustrasi, sehingga pelukis itu memotong jari-jarinya.

Rencana Morris untuk "cabut" makin matang setelah ia berhasil membuat topeng-topengan. Dan juga tambahan teman yang punya niat serupa. Meski caranya kurang masuk akal, termasuk menggergaji besi di loteng tanpa didengar penjaga, Morris dkk sampai juga ke pantai dan berenang menuju San Fransisco dengan pakaian jadi-jadian hasil kerja di bagian konveksi. Seluruh staf penjara dan Kepala, baru mengetahui ulah Morris keesokan paginya. Tak pernah ditemukan bukti Morris dkk berhasil atau gagal melintasi teluk tersebut. Morris dkk hilang hingga hari ini. Dan akibat ulah mereka, tak sampai setahun kemudian (1963) Alcatraz resmi ditutup.

Like Father Like Son

Bokap gw orang yg keras, sewaktu muda. Sekarang sudah sepuh. Di usia lansianya, gw perhatikan dia mudah sekali terenyuh. Gak tau kenapa, pokoknya ada sesuatu yang menyentuh hati, dia mulai sesenggukan. Jika nonton film, ada tokoh yang nekatdemi menyelamatkan sapa gitu, dia mulai kedengaran berair hidungnya, alias meler ('snif'). Kami biasa nonton bersama dan posisi duduk gw biasanya sedikit lebih di depan, karena gw yg pasang-pasang DVD. Jika dia mulai meler, gw sedikit buang muka sambil melet. Gitu aja mewek, batin gw. Cuma film, kok...

Sekali waktu gw jail. Gw sengaja ajak dia nonton film yg emang penonton "dipancing" untuk mewek. Film itu inilah dia, Evelyn (2002) yg dibintangi Pierce Brosnan. Brosnan berperan sebagai Desmon Doyle, pengangguran yang ditinggal istrinya. Ia harus menanggung hidup 3 anak yang masih kecil-kecil, salah satunya Evelyn. Karena dia nganggur, pemerintah memerintahkannya untuk memberi hak asuh Evelyn pada gereja hingga hidupnya membaik. Ternyata, selama diasuh oleh suster-suster, Evelyn mendapat perlakuan buruk. Hal ini membuat Desmon bertekad melawan ketentuan pemerintah. Karena ia sangat miskin, maka perjuangannya menjadi amat berat. Tapi perjuangannya yg maha berat justru diendus pers yang kemudian menyiarkannya ke seluruh negeri (Irlandia). Desmon mendapat dukungan luar biasa dari masyarakat, bahwa yg paling berhak mengasuh seorang anak adalah orang tuanya sendiri, sesulit apa pun kondisinya.

"Kejailan" gw muter film ini awalnya berhasil. Tapi sesenggukan yang terdengar di belakang gw, ikut menghanyutkan perasaan gw sendiri. Tanpa terasa, alih-alih melet, gw juga meler. Dan bahkan gw sibuk ngapus air mata yg menetes (huaaa....!). Buang mukanya sih ttp, tp sibuk menyeka air mata sendiri. Setelah film habis, kami tak membahasnya. Masing2 pergi begitu saja...

*Ya, kan kami laki2...tidak boleh begitu dong :P*