Selasa, 21 Juli 2015

Anak yang "Luar biasa" (1995)


Sebelum ada komunitas komik, komikus kayak gw bisa dibilang berjuang sendirian. Apalagi gw bukan anak seni. Alhasil, setiap selesai ngomik, gw hanya bisa meminta pendapat dari teman-teman dari kalangan kebanyakan. Mereka adalah para tetangga yg biasa nongkrong-nongkrong, ngerokok, gitaran di lapangan. Gw biasa bertemu mereka sepulang dari foto copy dan mereka ingin melihat karya gw. Sekedar iseng, pastinya. Gw tentu saja ga keberatan. Toh, gw memang butuh komentar dari seseorang. Sayangnya sejauh itu komentarnya selalu seragam, "baguuuuuss..." gak lebih.

Karena “kecewa”, gw sempat ngilang dari pandangan mereka. Lebih baik mendengarkan diri sendiri, begitu pikir gw. Hari-hari berikutnya gw memilih segera pulang jika bertemu mereka lagi. Tetapi, setelah sekian lama, gw gak enak juga jika selalu menghindar begitu. Ada baiknya gw beri mereka '"kesempatan" lg, dan siapa tahu secara tak sengaja terlontar pendapat mereka yg benar-benar gw butuhkan.

Salah seorang yang nongkrong2 itu memanggil, kek jagoan. Di luar dugaan, dia bukan ingin melihat karya gw. Dia ingin memberi informasi bahwa di antara mereka ada anak baru dari perumahan sebelah, namanya ET. ET ini katanya mahasiswa seni yg juga senang komik. Teman gw berpikir, mungkin gw bs diskusi dengannya. Kebetulan, jawab gw! Gw senang sekali mendengar hal itu dan langsung titip pesan, jika dia datang tolong kasih tahu bahwa gw ingin bertemu. Akan gw undang ke rumah, kapan aja ET mau.

Singkat cerita, suatu siang ET datang ke rumah. Kami ngobrol banyak tentang seni, terutama anatomi. Sayangnya, dia bukan orang yang enak diajak ngobrol. Bukan gw sombong atau apa, tapi dia terlalu lebay dalam menyikapi sesuatu.
Sebelum bicara dia selalu membuka komentarnya dengan kata-kata seperti "Ciiiiieeeeeeeeee.....!" atau "Weeeiiiiiisssssssssssssss....!"

Ketika pertama kali gw sodorin karya gw, "Kereeeeeen, " serunya, padahal belum benar2 liat!
Terus ketawa ngakak, padahal gak ada yang pantas untuk ditertawakan. Ketika pembokat gw kasih minum dan gorengan buatan sendiri, dia puji-puji rasanya setinggi langit. Setinggi langit, hanya untuk gorengan....
Gw sedih banget...Gw mulai berpikir bahwa gw akan sendiri lagi.

Tapi setelah ia melahap gorengan, tiba-tiba dia konsen banget. Lalu kritik-kritik tajam secara brutal meluncur bak torpedo. Seolah dia tahu jika gw mulai meremehkannya.
Dia bilang, cara bikin wajah tuh gini! Jarak antar mata, hidung, mulut..., lalu tinggi cowok tuh sekian, cewek sekian!

"Ini! Tangan nih cewek, kegedean, Bay!" katanya tanpa segan. "Tangan cewek tuh jenjang! Ga padat gini!" jelasnya sambil mengencangkan lengan.
Banyak sekali kritik yg dilontarkan yang membuat gw shock abis. Muka gw merah karena malu. Tp gw tahan aja, karena dah janji sama diri sendiri, harus menghargai orang yg sudah mau mengapresiasi. Ibarat petinju, gw petinju yang masih dipukuli setelah bel berbunyi. Benar-benar mabok pukulan. Sudah pasti marah dan tersinggung, tp tak berdaya.

Malam itu juga gw terus memikirkannya. Benarkah semua kritiknya? Masih terngiang komentar dari teman-teman dulu yang justru kebalikan dari komentar ET. Siapa yg bohong, teman-teman atau ET? Gw coba kuatkan diri untuk menerima ET sebagai pihak yang benar ! Gw ga boleh terjebak dalam kebodohan dan mabok oleh pujian teman-teman. Akhirnya, sampai pagi gw revisi semua gambar gw seperti yang ET bilang. Dan benar, setelah gw revisi, semuanya berubah. Wawasan gw seakan terbuka lebar, gambar gw terasa lebih proporsional. Ibarat orang rabun yang diberi kacamata, langsung terang. Gak pake ampun, ET membuktikan betapa pentingnya sebuah kritik!

Di sisi lain, kakak gw sempat lewat ketika ET bertandang. Tak sampai seminggu kemudian, justru kakak gw yang main-main di perumahan ET. Tak banyak yang ia kenal di perumahan itu, hanya bekas teman SMA-nya. Ia duduk-duduk di teras rumah bersama temannya saat ET lewat. Kakak gw bergumam, "Hoo.., ini temannya adik gw, nih!”
Teman kakak gw yg nyaris ketiduran di teras itu bangun. "Hah, d...dia teman adik lo?!"
"Iya.., kemarin gw liat ke rumah gw. Mang knapa?"
Teman kakak gw tertawa tertahan. "Ha...haha! Haha..., dia'kan...dia'kan anak SLB!"

Malamnya kakak gw pulang dan langsung menemui gw. Dia ceritakan semuanya yang ia dengar dari temannya. Gw terbengong-bengong. Apa iya? Kok? Kok bisa ngeritik sehebat itu? Melebihi teman-teman gw yg normal. Hari-hari berikutnya gw coba cari ET dan bertanya-tanya pada teman-teman. Heran, dia nggak pernah muncul lagi hingga hari ini! Gw pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk, gw diajarin anak SLB!

Beberapa tahun kemudian, gw mulai tergabung dalam komunitas komik MKI. Gw sempat menceritakan kisah ini di sana. Mereka yang mendengar tertawa-tawa. Namun, salah satu anggota mencoba meluruskan (mungkin sekalian membesarkan hati gw), bahwa anak SLB itu gak melulu serba minus. Bisa jadi justru serba plus...plus...dan plus! Gw seharusnya menyesal karena ga bs ketemu lagi, bukan menyesal telah diajari.

Ketika itu gw ga lagi peduli apakah dia plus atau minus. Kritikannya kena, dan itu yang gw butuhkan. Dia telah mengajarkan gw untuk mau mendengarkan orang lain, darimana pun sumbernya. Dia meruntuhkan ego gw tapi tidak mematikan. Dia telah berjasa tak hanya pada kemajuan karya gw, tp gw sebagai manusia secara keseluruhan. Kelapang dada-an yg secara gak langsung dia ajarkan membuat gw lebih mudah kompromi terhadap banyak hal di dunia ini.

Thx ET, di mana pun loe berada sekarang, plus atau pun minus...:)
NB : Satu hal yang terus jadi pikiran gw, jika dia serba plus, kenapa teman kakak gw bereaksi begitu? Tertawa yg tertahan..., "Haha...haha..., dia kan..." (Preeeet!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar