Orang bilang, dunia sepak bola adalah bisnis yang paling kejam di dunia ini. Setidaknya untuk saat ini. Seseorang bisa dikontrak hari ini, dipecat besoknya, dikontrak lagi di hari berikutnya, dan berakhir pada pemecatan lagi. Pemilik modal biasanya berlindung pada payung bernama "profesionalisme". Kata "profesionalisme" ini bermakna jauh dari sifat-sifat baik seseorang. Jauh dari persaudaraan, jauh dari pekoncoan, jauh dari nostalgia, jauh dari kesukuan, ras, agama dsb....Hanya satu kata yang bisa disandingkan dengan kata "profesionalisme", yaitu "prestasi". Ada "prestasi" semua beres. Nggak ada "prestasi", ke laut aja...begitu kira-kira...
Tahun 2007 gw bergabung pada perusahaan yg bergerak pada industri kreatif. Produk andalannya ketika itu berupa majalah dan buku-buku untuk anak-anak. Gw bergabung sebagai redaktur di sana, bukan ilustrator. Alhamdulillah, ketika interview gambar gw kurang diminati, sehingga pimpinan redaksinya setengah "memaksa" gw ditempatkan pada divisinya, alih-alih sebagai ilustrator. Kenapa demikian, karena sepintas lihat, gw merasa tak begitu nyaman bekerja sebagai ilustrator. Sejak hari itulah, bermula dari "dijeblosin" pemred, karir panjang gw sebagai penulis dimulai, bukan sebagai pereka gambar.
Ilustrator di sana ketika itu berjumlah (-+) 20 orang, 11 orang peninta, 10 orang colorist, 3 orang layouter dan beberapa desainer. Total jumlah kami dalam satu kantor itu lebih dari 50 orang (bahkan terakhir di sana jumlah kami nyaris 100 orang). Dengan jumlah orang sebanyak ini, tentu merupakan kekuatan besar. Dan mungkin paling besar dalam dunia industri cetak di Indonesia. Menggelinding tiap hari, melumat kiloan kertas dan menggores puluhan liter tinta guna menghasilkan produk unggulan berkat sistem kerja "roda berjalan". Siapa yang bisa menghalangi? Pada saatnya nanti, kami pasti menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah studio besar yang akan dijadikan model oleh studio2 yang lain.
Setelah berlalu delapan tahun, benarkah demikian?
Secara hirarki, redaksi adalah "otak"nya penerbitan. Kebetulan, ketika gw bergabung, tim redaksi kami terdiri dari orang hebat-hebat. Salah satunya Muhammad Yosaf ( mantan Wizard Indonesia). Kami seharusnya komandan dalam sebuah batalion. Tetapi faktanya tak seperti itu...Komandan hanya satu orang di perusahaan itu. Kamu gak boleh angkat dagu hanya karena ada di redaksi, dan gak bisa merasa lebih cerdas karena keluaran kampus. Ilustrator adalah aset utama dalam perusahaan itu, terlepas dari mana asal mereka. Itu tidak penting.
Di majalah Gatra (atau Tempo?) Bung Karno pernah memohon agar seniman yang terlibat gerakan PKI diselamatkan. Karena, untuk mendapatkan seorang seniman itu susahnya minta ampun. Kalo sarjana banyak, tiap tahun berjejal mencari kerja. Kalo seniman? Belum tentu. Jadi, mengamini ucapan proklamotor kita, ilustrator di perusahaan itu adalah "anak emas".
Ngiri? Nyesel? Ternyata tidak juga....
Owner menganakemaskan ilustrator, itu benar. Tapi dia juga waspada akan otak bulus seniman. Dia pelajari betul sampai ke akar-akarnya, apa yang seniman inginkan. Yaitu tak lain dan tak bukan adalah karya pribadi.
Karya pribadi ini, duri dalam daging bagi perusahaan. Yang membuat seseorang tertatih-tatih. Tidak ada darahnya, tapi tak bisa berlari. Oleh karena itu, ia pun membuat beberapa antisipasi.
Pertama, target harian tinggi. Hampir di luar akal. Seorang ilustrator harus menyelesaikan dua halaman A3 dalam sehari. Nggak selesai maka nggak pulang.
Hari kerja termasuk Sabtu, setengah hari. Tujuannya agar mempersempit peluang ilustrator mengerjakan hal lain di luar pekerjaan kantor. Jadi, belum-belum pasti udah "teler" sampai di rumah. Libur satu setengah hari nggak akan efektif digunakan. Belum lagi, hari Minggu diisi dengan keundangan, acara keluarga dll...
Ketika banyak laporan masuk menunjukkan penurunan kinerja, maka jam pulang diundur. Dari biasa pulang maghrib, mundur ke jam sembilan malam. OB ditugasi memesan nasi bungkus untuk makan malam bersama. Benar-benar ketiban rezeki kantin atau warung yang dijadikan langganan. Setidaknya nasi bungkus untuk 50 orang menggelinding masuk ke pelataran parkir perusahaan tersebut, setiap hari!
Bagi ilustrator nakal, maka turun perintah untuk "disekolahkan". Maksudnya, yang lain sudah pulang dia tidak, alias nginep. Owner akan datang jam 11 malam untuk sekedar melihat, dia masih bungkuk di belakang mejanya atau tidak. Jika tidak, gaji adalah taruhannya.
Ketat aturan tetapi kompensasi gaji bagi ilustrator memang nggak main-main. Rata-rata mereka (maaf) bukan keluaran sekolah tinggi. Namun gajinya bisa melampaui mereka yang beruntung memiliki ijazah. Ada dua sistem gaji dalam sebulan, yang kata bokap gw, ini menyontek gaya lama pegawai negeri.
Gaji utama ada di amplop putih (atau rekening). Itu jumlah yang masif, nggak akan diutak-atik. Gaji kedua ada di amplop coklat, kami menyebutnya "brownies". Yang brownies ini jumlahnya bener2 mengacu pada performa kita setiap bulan. Jadi ketika memuaskan, maka browniesnya tebal. Ketika ngeyel dan macam-macam, browniesnya tipis. Bahkan bisa hilang.
Bokap gw menceritakan, yang coklat itu, zaman dia kerja, sering disebut "uang laki". Karena istri biasanya hanya tahu yang putih. Karena para suami biasanya menyetor pada istri setiap habis gajian, maka seringkali suami tak lagi pegang uang lebih. Brownies ini membantu suami untuk bisa punya uang lebih. Meski begitu, setelah belasan tahun kerja, banyak para suami yang sudah kaya tanpa sepengetahuan istri. Tak jarang uang dari amplop coklat ini dijadikan modal untuk mencari istri muda
Salahkah pimpinan perusahaan itu menerapkan aturan di atas?
Sebagian besar dari kita mungkin berkata, "Gila! Gw ogah ada di sana!"
Tetapi kalau mau fair, dia tidak salah juga. Karena apa, karena sifat selfish kita. Sifat narsis kita, yang sering kali menjadi tempat kerja hanya batu loncatan. Kerjaan sebulan molor jadi dua-tiga bulan. Direvisi, alasan macam-macam. Prilaku asal "antar", "ojek" istilah lainnya."Supir taksi" istilah kami, telah membuat banyak orang yang kecewa, kapok dan bersumpah serapah. Coba tanya ke editor2 kalian yang pernah bekerja sama, pasti mereka senyum kecut. Gw memang berada di tengah, seperti tugas redaksi saat itu, menjembatani antara kemauan owner dan kegelisahan ilustrator. Gw sendiri bukan berarti tak pernah jadi sasaran tembak. Tahun 2010 gw menerbitkan Bengal (220hal), yang membuat beberapa atasan gw disemprot.
"Kenapa dia bisa ngerjain komik sendiri?! Pagi ada, siang ada, malam juga ada!" begitu atasan gw cerita. "Kapan bikinnya?"
Ditiup-tiup?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar