Senin, 19 Agustus 2013

Manga Sinetron

Temans, kebetulan nemu tulisan ini di re:on

Gw coba tanggapi, sekedar pengisi libur lebaran...

Ini masalah yang sebenernya udah diapungkan sejak zaman MKI masih dipimpin Wahyu Sugianto, sekitar tahun 99-2000 dengan istilah local content kala itu, dan ternyata gak juga berakhir sampai hari ini. Beng Rahadian, dengan Akademi Samalinya sebenernya udah menutup diskusi ini sekitar tahun 2006, di salah satu acara klub komik Aksara, dengan menyimpulkan bahwa komik Indonesia adalah komik yang dibikin oleh orang Indonesia, masa bodo isinya kayak apa. Tapi ternyata Beng sebagai penjaga gawang klub tak kuasanya juga menahan “gempuran” serupa sehingga kebobolan dan isu ini menebar lagi ke mana-mana. Kini re:on sendiri mengalami kegundahan yang sama.

Ini masalah kita bersama yang seharusnya juga dipecahkan secara bersama, sepanjang masih ngaku orang Indonnesia. Gw cukup gembira pertanyaan ini keluar dari mulut re:on yang sejauh ini gw liat beratnya ke manga. Ok, kita telusuri yuk, kenapa ini bisa terjadi, dan mudah-mudahan gw salah.

Gw coba sesingkat mungkin sebab keknya rata-rata temen2 di socmed ga suka tulisan kelewat panjang. Perlu diinget, ini bukan wujud sentimen terhadap aliran/ pihak lain, ini cuma analisa kenapa hal ini bisa terjadi.

Masalahnya menurut gw karena keran manga gak ada yang nutup. Terus aja membanjiri rumah kita. Gayung buat nguras gak sebanding dengan keran yang terbuka di mana-mana, terutama di Palmerah. Para pemilik modal gak sabar menunggu lama-lama untuk memodali gaya selain manga. Bahkan sekarang ditambah mudahnya akses ke manga online, yang ketika MKI dipimpin Wahyu atau Beng nutup diskusi hal itu belum ada.
Lalu pertanyaannya, apa manga merupakan biang kerok hilangnya keindonesiaan kita? Gak bisa disimpulin gitu juga. Kelakuan para pemimpin kita pun bisa juga jadi penyebab utamanya. Skor 0-7 PSSI di lapangan pun ikut andil. Intinya, kebanggaan kita sebagai bangsa memang hilang di semua sendi kehidupan kita. Tetapi dalam konteks komik, mungkin benar jika manga memengaruhi mentalitas generasi komikus kita.

Konsep manga adalah konsep sinetron. Semua bagus, semua indah. Tak ada kemiskinan, misalnya, tak ada yang buruk rupa, semua usia tokohnya muda (bahkan anak-ibu sebaya), dengan proporsi tubuh yang ideal semua. Pendek kata, sangat menjual mimpi, dan ini tak ubahnya sinetron kita. Sinetron kita pun dihujat hal yang sama, hilangnya keindonesiaan. Bagi para remaja (pasar terbesar penikmat komik), konsep ini sangat cocok. Bukankah bagi remaja hidup ini sedang indah-indahnya? Tak ada kewajiban cari uang, tak ada beban sosial, tak ada kebutuhan yang mendesak dsb….tugas utamanya cuma satu, belajar (dan pacaran, indah’ kan?).
Selain penikmat manga, para remaja itu, juga terdorong membuat tokoh para idola mereka. Tentu saja, siapa yang bisa menghalangi? Siapa yang bisa mengingatkan? Tidak ada. Tak heran di usia belasan tahun mereka sudah jago membuat karakter idolanya. Ini maksud gw keran yang terbuka di mana-mana sementara kita ngurasnya cuma pake gayung.
Lalu, bagi mereka yang ingin keluar dari situasi ini bagaimana caranya? Terus terang, gw juga gak tau. Mau ngarahin mereka ke realis? Bisa saja, tapi realis biasanya baru ditemukan di bangku kuliah, kalah cepat dari “pendidikan” manga yg udah dimulai sejak dia bisa baca. Selain itu, realis itu berat sekali bagi mereka yang terlanjur gak suka. Nggak jarang komikus realis butuh waktu sampai usia 30 tahun supaya gambarnya enak diliat. Itu pun kadang masih “aneh”. Bagi komikus realis usia 25 itu pemula, sementara bagi mangaka itu jawara. Tetapi betul, jika gambar ingin terlihat benar-benar merepresentasikan diri sendiri, realis adalah jalan keluarnya. Gak perlu jadi mahasiswa seni rupa, cukup mau melakukannya maka ciri khas dirinya akan muncul sendiri.
Bagaimana dengan style lain selain realis? Terus terang, gw menunggu “empu”nya style lain itu untuk berkomentar, karena gw tidak menekuninya.

Jadi apa jawabannya? Nggak ada, karena menyumbat keran itu begitu saja juga bukan tindakan bijak! Kampanye? Itu perlu waktu lama selain perlu dana. Memang begitulah remaja, memang begitulah pemula. Biarkan saja mereka hura-hura sampai alam menyeleksinya. Biasanya yang gak bawa keindonesiaan sama sekali, karirnya gak lama, kok. Bentar juga ilang….berganti dengan yang baru untuk mengulang kesalahan yang sama.

Nah, di tengah situasi serba buntu begini, mungkin secara gagasan/ide gw masih bisa kasih jalan keluarnya. Mungkin ada baiknya gw mengajak para generasi baru mengenal apa dan siapa itu Lupus.

Tokoh fiksi terakhir yang lahir di negeri ini dan sukses adalah Lupus. Betul itu cerpen/novel, bukan komik. Tapi pada dasarnya sama. Sama-sama diperuntukan untuk remaja. Lupus kala itu amat mewakili remaja 80-90an. Kesuksesan Lupus membekas bagi pembacanya hingga mereka punya anak remaja. Lupus berlatar belakang sosial yang mirip dengan kebanyakan dari kita, menengah. Indonesia memang serba menengah, namanya juga negara berkembang. Indonesia bukan negara maju. Jadi buatlah yang serba menengah jika ingin kelihatan keindonesiaannya. Misalnya, bokek gak bisa beli pulsa, pulang kuliah jalan kaki, kecopetan, dipalak, pacaran ngumpet-ngumpet, dikejar-kejar bokapnya pacar dsb. Itulah Indonesia. Komikus Jepang gak bisa menyediakan itu. Selain beda kultur mereka juga beda tingkat pendidikan dan ekonomi. Mereka serba bagus, serba indah, baik dari ide maupun visual yang lagi-lagi konsep sinetron.

Begitulah temans, karena yang tahu masalah kita adalah kita sendiri, bukan orang Jepang.


Halo Reonites, ngomong2 Reon kan sering dapat masukan untuk bikin komik yang style gambarnya khas Indonesia. Nah Reon jadi pengen tau nih, style gambar khas Indonesia yang bagus menurut kalian itu yang kayak gimana? Kalo bisa sekalian sertakan link gambar yang dimaksud yah. Makasih masukannya