Kamis, 19 September 2013
I Spit on Your Grave (movie)
I SPIT ON YOUR GRAVE 1978, 2010, 2013
Dah lama gak nge-review pelem. Lebih ke spoiler sebenernya, gpp…asek2 aja.
Gw suka film thriller. Terutama ditonton di jam2 orang kebanyakan tidur. Dijamin gak bakal ikutan tidur dah…:D
Di antara film thriller, gw pernah nonton I Spit on Your Grave. Aslinya ini film jadul, produksi tahun 1978. Ketika dirilis film ini tergolong kontroversial karena gagasannya dan adegan-adegan sadis yang disajikan. Namun film yang juga punya judul lain Day of The Woman ini seakan menjadi pionir untuk film sejenis yg kemudian sedikit banyak dicontek produksi lain, termasuk oleh sineas kita.
Idenya sederhana, sekelompok pemuda memerkosa seorang gadis, kemudian gadis itu melakukan pembalasan dengan menjerat satu persatu pemuda yg memerkosanya. Perkosaan yang ditampilkan begitu brutal, bejat, tegel, di titik terendah derajat manusia, dan bahkan lebih buruk dari binatang. Sampai di sini diharapkan penonton mendukung pembalasan setimpal, yang sebenarnya dalam kehidupan nyata kita tak diajarkan begitu. Tapi itulah film, sebagian dari kita’kan ingin mengakhiri film dengan rasa puas. Persetan dengan hukum
Tahun 2013 ini diluncurkan I Spit on Your Grave 2, setelah tahun 2010 kita disuguhi versi remake tahun 1978. Sempat muncul pertanyaan, apa ceritanya sama? Kalo sama aja, kenapa bikin yang kedua? Dan ternyata betul, produksi yang terakhir ini terasa kurang greget dibanding yang 2010, apalagi yang 1978.
Dalam film pertama, baik versi 1978 mau pun 2010, kisahkan seorang penulis wanita mencari ketenangan dengan pergi ke daerah terpencil. Di tengah jalan ia diikuti hingga ke cabinnya oleh sekelompok pemuda dan diperkaos rame-rame. Setelah memerkosa, sadar kelakuan mereka begitu buruk, para pemerkosa sepakat membunuh korbannya. Namun sebelum menghabisinya, para pria itu mencoba menikmati momen-momen di mana sang wanita merasakan hancurnya harga diri, sakitnya hati, merosotnya mental mau pun ketidakberdayaan fisik. Hal ini digambarkan ketika para pria hanya mengamati…dan hanya mengamati, korbannya berjalan dengan tubuh tanpa sehelai benang pun, penuh luka, wajah lebam, terhuyung-huyung tanpa arah, tanpa harapan, siapa pun yang mengalami pasti berharap segera mati saja.
Di film kedua , seorang gadis pelayan restoran mencoba peruntungan dengan menjadi model. Hanya saja karena bokek, ia mencari fotografer gratisan untuk dibuatkan portfolio. Fotografer minta ia buka pakaian, terus terang sajalah, tapi ia menolak dengan alasan moral. Tentu saja si tukang foto jadi gemes. Masak semua…muanya dianggap gratisan? Mbok ya buka-buka dikit sebagai kompensasinya. Karena tetap menolak, malam berikutnya asisten fotografer mendatangi flatnya dan memulai segalanya yang menjadi inti cerita film ini.
Beberapa adegan di film kedua terkesan ingin menampilkan kebejatan yang maksimal tapi jadi malah jdi minimal. Selain cara jebak para pelaku yang terkesan biasa-biasa aja, kalo gak mau dibilang terlalu mudah, cara-cara menghukum pelaku terkesan dipaksakan. Misalnya saja, di akhir film, penis (soree..:D) pelaku dijepit sebuah alat yg jika alat itu diputar, penisnya akan makin terjepit. Hanya saja karena nggak mau terang-terangan menampilkan alat kelamin pria, kita yang nonton bertanya-tanya, diapain tuh? Apaan, tuh? Batang atau biji? Ga jelas, hehehe…sekalian aja gak usah di wilayah itu
Ada lg beberapa kekurangan di film kedua dibanding yang pertama. Tp sudahlah, toh ini hanya sekedar “teman” di malam yang kian sunyi…
Dah, ya!
Langganan:
Postingan (Atom)