Selasa, 17 Desember 2013

The English Teacher (2013)



Cinlok; Guru--Mantan murid--Murid....

Beberapa hari yg lalu nonton The English Teacher. Sebagian besar isinya, gw merasa mirip dengan kehidupan kita, atau gw yg ngakunya komikus atau penulis ini. Setidaknya ada tokoh yang, membuat (karya), menawarkan /memublikasikan, dan menunggu impactnya. Konflik terbangun saat mereka mencoba merealisasikan gagasan yg sudah disepakati bersama.

Film ini berkisah tentang guru sastra Inggris di sebuah SMA bernama Linda Sinclair ( tante Julianne Moore), guru yang sederhana, berdedikasi, setia pada profesi, menarik namun anehnya masih sendiri .
Linda memiliki mantan murid, Jason, yang ketika menjadi siswanya Jason ia kenal amat berbakat menulis. Terakhir Linda mendengar Jason mencoba peruntungannya ke New York.
Linda dan Jason bertemu lagi dan Jason bercerita bahwa ia gagal menembus persaingan di New York. Tetapi yang menjadi kendala bukanlah kemampuannya melainkan restu ayahnya, Will. Will menginginkan anaknya meniti karir di dunia hukum. Kemauan Will membuat Linda prihatin. Ketika kebetulan bertemu, Linda mengkritik keras keinginan dokter ini membelokkan masa depan anaknya.

Pada kesempatan lain Linda mendapat kesempatan membaca naskah drama Jason, yang gagal di New York itu. Linda menyimpulkan karya Jason amat luar biasa. Ia mengusulkan agar naskah ini dipentaskan di sekolah. Jason setuju dengan rencana itu. Tapi Linda menyembunyikan fakta bahwa Kepala Sekolah tidak setuju naskah Jason dipentaskan secara utuh. Kepsek minta bagian akhir dibuang saja, karena tak pantas ditonton remaja SMA. Linda menyanggupi, namun ia memilih tidak mengatakannya karena takut Jason ngambek , ia lebih senang membiarkan saja masalah ini diurus belakangan.

Latihan pertama tak berjalan sukses, karena Jason ternyata bukan penulis yang berjiwa besar mendapat kritikan dari salah satu pemainnya. Ia seperti anak kecil yang ngambek sampai mewek. Akibatnya Linda menjadi sibuk mengangkat moril Jason agar seperti semula (ini adegan nggak banget, kalo gw ada di situ celananya gw plorotin, gw lempar ke atap).

Di tengah persiapan, Jason terus “diganggu” oleh ayahnya, Will. Tindakan Will membuat Linda simpati. Dari simpati berubah menjadi cinta. Jason pun tak kuasa menerima kasih sayang mantan gurunya ini, mereka kemudian bercinta di salah satu kelas kosong. Tetapi hubungan yang sudah terjalin tak membuat Jason berpikir untuk terus bersama mantan gurunya. Ia kemudian mendekati pemeran utama wanita dalam drama yang mereka siapkan, Halle Anderson (Lily Collins) yang jelas-jelas masih segar dan cantik. Meski cukup mengerti, namun Linda cemburu juga. Tanpa Linda sadari ia banyak memojokkan Halle dengan alasan-alasan yang dibuat-buat. Ketika ia memergoki Jason dan Halle bermesraan, Linda tak tahan lagi. Ia mengadukannya ke Kepala Sekolah dan meminta Halle untuk segera dikeluarkan. Tapi Halle ternyata sudah siap. Ia punya bukti bahwa Linda juga pernah ‘bobok-bobokan’ dengan Jason. Ditambah lagi, Kepala Sekolah memergoki latihan mereka tak sesuai dengan perjanjian, adegan yang dianggap tak pantas belum dibuang. Berantakanlah semuanya, Linda marah pada Halle, Halle marah pada Linda, Jason marah pada Linda karena naskahnya di’rusak’ dan Kepala Sekolah marah pada semua….Dan Linda dipecat! 

Hehe, gimana akhirnya?

Akhirnya Linda dipanggil lagi untuk mengatasi persiapan pentas yang makin berantakan. Ia mengubah bagian akhir dari drama, yang tak boleh dipentaskan itu, dan Jason akhirnya mau menerima karena sambutan yang mereka dapat sangat memuaskan…:)

Seek a Friend for The End of The World (2012)

Sekarang giliran pelem komedi romantis favorit...

Pilihan gw ini, Seek a Friend for The End of The World (2012)
Premisnya ; Apa sih, tuh kiamat, jika sudah menemukan cinta sejati? Hehe...boljug...


Semangatnya (halah), semangat 2012, tahun kiamat. Jadi, dunia sudah dipastikan kiamat dalam 21 hari ke depan. Sikap masyarakatnya lucu, ada yg diam saja/pasif, ada yang nangis, ada yg memutuskan bunuh diri, dll...tp tak ada yang menunjukkan emosi secara meledak-ledak dari para tokohnya.

Dodge (Steve Carell) termasuk yg pasif, sebab ia baru ditinggal pasangan. Ia bertemu tetangganya, Penny (Kiera Knightley) yang asal jeplak lagi polos. Penny rupanya tanpa sengaja sering menahan surat-surat dari pacar Dodge yg seharusnya dialamatkan ke kamar Dodge. Dodge awalnya kecewa, namun mereka menjadi kompak sejak terjadi kerusuhan di sekitar apartemen mereka. Mereka lalu sama-sama ingin mencari orang-orang terkasih sebelum kiamat benar-benar datang...

Ternyata, di sepanjang jalan, Dodge dan Penny menemukan banyak kecocokan. Mulai tumbuh benih-benih cinta dari dua orang berbeda usia cukup jauh ini. Banyak kelucuan terjadi sepanjang jalan, dari orang bunuh diri dengan caranya yg unik, menghadiri pesta seks di cafe sampai masuk bui karena membawa mobil curian. Mereka saling bantu untuk menemukan orang-orang yang mereka kasihi, di tengah-tengah dunia yg sudah mati sebelum waktunya...
Akhirnya, ketimbang susah-susah mencari orang terkasih, yang belum tentu memberikan respon sepadan, mending saling berkasih saja satu lain, hehe...

Dodge dan Penny akhirnya memilih pulang dan menanti kiamat bersama, tanpa rasa takut, karena kebahagiaan menemukan cinta sejati mengalahkan segalanya...

Jumat, 06 Desember 2013

What Maisie Knew (2012)


Ketika Ortu Jadi Budak Kesibukan

Maisie (sekitar 3 tahun), adalah satu dari sekian banyak anak korban perpisahan orang tua di Amrik. Maisie (Otana Aprile) terlihat amat menggemaskan, lucu lagi pintar. Orang tua Maisie adalah Susanna (Julianne Moore) dan Beale (Steve Coogan) yang memiliki profesi amat bertolak belakang. Susanna seorang artis musik tenar sementara Beale pebisnis yang kerap ke luar negeri. Keluarga mereka dilengkapi Margo, baby sitter yang cantik.

Ketika bercerai, hak asuh Maisie jatuh ke tangan Beale. Tak disangka, Margo telah menunggunya di kediaman Beale. Karena sudah mengenal Margo, Maisie senang-senang saja. Margo kemudian menikah dengan Beale yang otomatis menjadi ibu tiri Maisie. Tak mau kalah, Susanna juga memutuskan menikah dengan Lincoln, seorang bartender yang penampilannya jauh dari seimbang dengan Susanna. Kedudukan mereka kini 1-1 yang membuat hakim memutuskan hak asuh Maisie secara bergilir, setiap 10 hari. Jadi, 10 hari ini Maisie diasuh ibunya, 10 hari kemudian bapaknya, begitu seterusnya.

Yang jadi masalah, kedua orang tuanya tetap orang yang super sibuk. “Budak” pekerjaan-lah, ambisi tai kucing yang membuat Maisie sama saja saat diasuh ibunya mau pun bapaknya. Untungnya, baik ibunya maupun bapaknya menikahi orang-orang yang biasa-biasanya, yang tak terlalu sibuk. Margo hanyalah wanita biasa tanpa pekerjaan yang jelas, sementara Lincoln hanyalah bartender. Dan untungnya lagi, mereka berdua orang-orang baik yang dalam film-film Hollywood biasanya justru kebalikannya. Terutama Lincoln yang lebih mirip kurir narkoba. Tetapi mereka amat menyayangi Maisie. Mereka inilah yang secara bergilir ditugasi menjemput Maisie dari sekolah atau pun menemaninya bermain.

Kedekatan Maisie dengan kedua orang tua tirinya membuat kedua orang tua kandungnya cemburu. Susanna dan Beale bukannya berterima kasih dengan Margo dan Lincoln tapi justru sebaliknya, mencampakkan pasangan masing-masing. Butuh rasa cinta yang tulus dari Margo dan Lincoln untuk menerima Maisie kembali ketika gadis cilik ini akhirnya terlunta-lunta di antara kesibukan Susanna dan Beale. Tentu saja berat merawat anaknya ketika orang tuanya justru melontarkan cacian hina ke wajah. Tapi itu yang dilakukan Margo dan Lincoln. Alasannya cuma satu, cinta pada Maisie yang terlanjur terbangun tak bisa hilang hanya karena hinaan orang tuanya.

Seiring berjalannya waktu Margo dan Lincoln saling jatuh cinta. Dan Maisie akhirnya berani memilih tinggal bersama mereka ketika Susanna datang menjemput…

Anak kandung sesungguhnya hanya titipin dari yang Di Atas, orang tua sesungguhnya? Itu soal lain lagi…:)

Kritik; "Musuh yang Dirindukan"



Beberapa hari lalu, waktu nggak bisa tidur, iseng-iseng baca tulisan AS Laksana, cerpenis, di Ruang Putih, Jawa Pos, terbitan 1 Desember 2013. Judulnya sebenarnya biasa saja, “Orang-Orang yang Sungkan”, namun isinya sangat menarik, menurut gw….


Sebenarnya, tulisannya dibuka dengan aura curhat, bahwa karyanya kalah bersaing dengan karya Leila S Chudori yang berjudul “Pulang” dalam anugerah Kathulistiwa Literary Award 2013. Kalah-menang sebenarnya soal biasa, tetapi tidak jika sudah melihat ke ranah sosmed. Leila S Chudori punya basis pendukung yang kuat bertabrakan dengan “suporter" Laksana yang juga tak sedikit. Keduanya sama-sama mengklaim lebih baik, dan bahkan segalanya kemudian menjurus panas. Kedua penulis yang dibicarakan tak sekali pun ikut komentar, dan itu sudah benar, namun seorang temannya kemudian berkomentar yang seolah memanggilnya untuk ikutan komen sekaligus menyindirnya, bahwa dia sering berpendapat tak masalah objek yg jadi pembicaraan ikut komentar, terbuka aja, bebas. Tapi ketika ia sendiri yang menjadi objek, dia memilih bungkam.

AS Laksana kemudian merujuk ke situasi di barat yang lebih terbuka dan menerima kritik sewajarnya, meski belakangan juga mulai bergeser. Ia sepertinya “rindu” atmosfer seperti itu. Ia memberi contoh komentar Mark Twain atas karya Edgar Allan Poe.

“Prosa Edgar Allan Poe tidak bisa dibaca—persis plek dengan prosa Jane Austen!”

Contoh lain dari Oscar Wilde tentang George Meredith; “Gaya menulisnya semrawut! Sebagai penulis ia ampuh dalam segala urusan kecuali bahasa. Sebagai novelis ia bisa mengerjakan apa saja kecuali bercerita. Sebagai seniman ia segalanya kecuali dalam soal pengungkapan gagasan.”

Laksana menilai, semua komen ini selain menarik dapat pula memancing tawa layaknya melihat seseorang yang mendadak mendapat kesialan.
Ia kemudian menganalisa, mengapa kondisi di kita berbanding terbalik dengan mereka-mereka yang ada di barat. Mengapa orang kita penuh dengan kesungkanan?
Ini jawabannya ( gw ambil beberapa aja, yg paling “nendang”) ;
• Karena takut dianggap dengki pada karya orang lain. 
• Karena takut bahwa kritiknya akan merusak pertemanan.
• Karena ada perasaan tidak pantas menyerang karya sesama penulis.
• Karena takut dimusuhi oleh orang-orang lain, terutama kelompok pendukung penulis tersebut.
• Karena takut pada anggapan bahwa penulis yang mengkritik karya penulis lain diam-diam tengah mengunggulkan karyanya sendiri.

Gw pribadi melihat hal serupa pun terjadi di scope kita, para penulis komik. Gw bisa menambahkan, kehati-hatian yang luar biasa, mulutmu harimaumu, lebih baik cari aman dengan banyak teman, pencitraan lebih bisa diterima ketimbang “frustrasi” , bahkan ada yg berpikir sebaiknya jangan dikritik, nanti jadi bagus. Diamkan saja, itu yang terbaik bagi kita.....(haha!)

Sebenarnya dulu di komunitas ada yang menjalankan fungsi ini, para pengamat, yang ketika ketemuan langsung minta izin untuk ngeritik. Tapi belakangan mundur teratur, karena tiap bicara musuhnya nambah.

Waktu gw di Indira, editor gw mengumpulkan semua kritikan yang ia terima dan membahasnya ketika kami ketemuan. "Perintah"nya adalah, buatlah seri berikutnya berdasarkan kritikan ini....

Betapa nikmatnya jika bisa demikian ya...bagai mendapat lentera di lorong gelap. 

Fungsi kritik memang harus ada dan dibangun. Semua sadar akan akan hal ini, penulis paling bego sekali pun. Hanya saja, seperti juga obat nggak ada kritik yang manis. Semua kritik selalu pahit. Akhirnya kritik menjadi "musuh yang selalu dirindukan".  Di sisi lain, si pengkritik juga harus bersikap dewasa. Ketika kritikannya dijawab oleh yg dikritik, si pengkritik jangan jadi lebih “ngambek” daripada yang dikritik, hehe....Tetaplah kembali untuk ngeritik lg 

Gw bisa menulis begini, tapi ketika menerima kritik bisakah menerima dengan biasa saja? Entahlah, gw toh juga bagian dari kalian....

*Sekedar buat baca2…:)*

Kamis, 19 September 2013

I Spit on Your Grave (movie)


I SPIT ON YOUR GRAVE 1978, 2010, 2013

Dah lama gak nge-review pelem. Lebih ke spoiler sebenernya, gpp…asek2 aja.

Gw suka film thriller. Terutama ditonton di jam2 orang kebanyakan tidur. Dijamin gak bakal ikutan tidur dah…:D

Di antara film thriller, gw pernah nonton I Spit on Your Grave. Aslinya ini film jadul, produksi tahun 1978. Ketika dirilis film ini tergolong kontroversial karena gagasannya dan adegan-adegan sadis yang disajikan. Namun film yang juga punya judul lain Day of The Woman ini seakan menjadi pionir untuk film sejenis yg kemudian sedikit banyak dicontek produksi lain, termasuk oleh sineas kita.

Idenya sederhana, sekelompok pemuda memerkosa seorang gadis, kemudian gadis itu melakukan pembalasan dengan menjerat satu persatu pemuda yg memerkosanya. Perkosaan yang ditampilkan begitu brutal, bejat, tegel, di titik terendah derajat manusia, dan bahkan lebih buruk dari binatang. Sampai di sini diharapkan penonton mendukung pembalasan setimpal, yang sebenarnya dalam kehidupan nyata kita tak diajarkan begitu. Tapi itulah film, sebagian dari kita’kan ingin mengakhiri film dengan rasa puas. Persetan dengan hukum

Tahun 2013 ini diluncurkan I Spit on Your Grave 2, setelah tahun 2010 kita disuguhi versi remake tahun 1978. Sempat muncul pertanyaan, apa ceritanya sama? Kalo sama aja, kenapa bikin yang kedua? Dan ternyata betul, produksi yang terakhir ini terasa kurang greget dibanding yang 2010, apalagi yang 1978.


Dalam film pertama, baik versi 1978 mau pun 2010, kisahkan seorang penulis wanita mencari ketenangan dengan pergi ke daerah terpencil. Di tengah jalan ia diikuti hingga ke cabinnya oleh sekelompok pemuda dan diperkaos rame-rame. Setelah memerkosa, sadar kelakuan mereka begitu buruk, para pemerkosa sepakat membunuh korbannya. Namun sebelum menghabisinya, para pria itu mencoba menikmati momen-momen di mana sang wanita merasakan hancurnya harga diri, sakitnya hati, merosotnya mental mau pun ketidakberdayaan fisik. Hal ini digambarkan ketika para pria hanya mengamati…dan hanya mengamati, korbannya berjalan dengan tubuh tanpa sehelai benang pun, penuh luka, wajah lebam, terhuyung-huyung tanpa arah, tanpa harapan, siapa pun yang mengalami pasti berharap segera mati saja.

Di film kedua , seorang gadis pelayan restoran mencoba peruntungan dengan menjadi model. Hanya saja karena bokek, ia mencari fotografer gratisan untuk dibuatkan portfolio. Fotografer minta ia buka pakaian, terus terang sajalah, tapi ia menolak dengan alasan moral. Tentu saja si tukang foto jadi gemes. Masak semua…muanya dianggap gratisan? Mbok ya buka-buka dikit sebagai kompensasinya. Karena tetap menolak, malam berikutnya asisten fotografer mendatangi flatnya dan memulai segalanya yang menjadi inti cerita film ini.

Beberapa adegan di film kedua terkesan ingin menampilkan kebejatan yang maksimal tapi jadi malah jdi minimal. Selain cara jebak para pelaku yang terkesan biasa-biasa aja, kalo gak mau dibilang terlalu mudah, cara-cara menghukum pelaku terkesan dipaksakan. Misalnya saja, di akhir film, penis (soree..:D) pelaku dijepit sebuah alat yg jika alat itu diputar, penisnya akan makin terjepit. Hanya saja karena nggak mau terang-terangan menampilkan alat kelamin pria, kita yang nonton bertanya-tanya, diapain tuh? Apaan, tuh? Batang atau biji? Ga jelas, hehehe…sekalian aja gak usah di wilayah itu

Ada lg beberapa kekurangan di film kedua dibanding yang pertama. Tp sudahlah, toh ini hanya sekedar “teman” di malam yang kian sunyi…

Dah, ya!

Senin, 19 Agustus 2013

Manga Sinetron

Temans, kebetulan nemu tulisan ini di re:on

Gw coba tanggapi, sekedar pengisi libur lebaran...

Ini masalah yang sebenernya udah diapungkan sejak zaman MKI masih dipimpin Wahyu Sugianto, sekitar tahun 99-2000 dengan istilah local content kala itu, dan ternyata gak juga berakhir sampai hari ini. Beng Rahadian, dengan Akademi Samalinya sebenernya udah menutup diskusi ini sekitar tahun 2006, di salah satu acara klub komik Aksara, dengan menyimpulkan bahwa komik Indonesia adalah komik yang dibikin oleh orang Indonesia, masa bodo isinya kayak apa. Tapi ternyata Beng sebagai penjaga gawang klub tak kuasanya juga menahan “gempuran” serupa sehingga kebobolan dan isu ini menebar lagi ke mana-mana. Kini re:on sendiri mengalami kegundahan yang sama.

Ini masalah kita bersama yang seharusnya juga dipecahkan secara bersama, sepanjang masih ngaku orang Indonnesia. Gw cukup gembira pertanyaan ini keluar dari mulut re:on yang sejauh ini gw liat beratnya ke manga. Ok, kita telusuri yuk, kenapa ini bisa terjadi, dan mudah-mudahan gw salah.

Gw coba sesingkat mungkin sebab keknya rata-rata temen2 di socmed ga suka tulisan kelewat panjang. Perlu diinget, ini bukan wujud sentimen terhadap aliran/ pihak lain, ini cuma analisa kenapa hal ini bisa terjadi.

Masalahnya menurut gw karena keran manga gak ada yang nutup. Terus aja membanjiri rumah kita. Gayung buat nguras gak sebanding dengan keran yang terbuka di mana-mana, terutama di Palmerah. Para pemilik modal gak sabar menunggu lama-lama untuk memodali gaya selain manga. Bahkan sekarang ditambah mudahnya akses ke manga online, yang ketika MKI dipimpin Wahyu atau Beng nutup diskusi hal itu belum ada.
Lalu pertanyaannya, apa manga merupakan biang kerok hilangnya keindonesiaan kita? Gak bisa disimpulin gitu juga. Kelakuan para pemimpin kita pun bisa juga jadi penyebab utamanya. Skor 0-7 PSSI di lapangan pun ikut andil. Intinya, kebanggaan kita sebagai bangsa memang hilang di semua sendi kehidupan kita. Tetapi dalam konteks komik, mungkin benar jika manga memengaruhi mentalitas generasi komikus kita.

Konsep manga adalah konsep sinetron. Semua bagus, semua indah. Tak ada kemiskinan, misalnya, tak ada yang buruk rupa, semua usia tokohnya muda (bahkan anak-ibu sebaya), dengan proporsi tubuh yang ideal semua. Pendek kata, sangat menjual mimpi, dan ini tak ubahnya sinetron kita. Sinetron kita pun dihujat hal yang sama, hilangnya keindonesiaan. Bagi para remaja (pasar terbesar penikmat komik), konsep ini sangat cocok. Bukankah bagi remaja hidup ini sedang indah-indahnya? Tak ada kewajiban cari uang, tak ada beban sosial, tak ada kebutuhan yang mendesak dsb….tugas utamanya cuma satu, belajar (dan pacaran, indah’ kan?).
Selain penikmat manga, para remaja itu, juga terdorong membuat tokoh para idola mereka. Tentu saja, siapa yang bisa menghalangi? Siapa yang bisa mengingatkan? Tidak ada. Tak heran di usia belasan tahun mereka sudah jago membuat karakter idolanya. Ini maksud gw keran yang terbuka di mana-mana sementara kita ngurasnya cuma pake gayung.
Lalu, bagi mereka yang ingin keluar dari situasi ini bagaimana caranya? Terus terang, gw juga gak tau. Mau ngarahin mereka ke realis? Bisa saja, tapi realis biasanya baru ditemukan di bangku kuliah, kalah cepat dari “pendidikan” manga yg udah dimulai sejak dia bisa baca. Selain itu, realis itu berat sekali bagi mereka yang terlanjur gak suka. Nggak jarang komikus realis butuh waktu sampai usia 30 tahun supaya gambarnya enak diliat. Itu pun kadang masih “aneh”. Bagi komikus realis usia 25 itu pemula, sementara bagi mangaka itu jawara. Tetapi betul, jika gambar ingin terlihat benar-benar merepresentasikan diri sendiri, realis adalah jalan keluarnya. Gak perlu jadi mahasiswa seni rupa, cukup mau melakukannya maka ciri khas dirinya akan muncul sendiri.
Bagaimana dengan style lain selain realis? Terus terang, gw menunggu “empu”nya style lain itu untuk berkomentar, karena gw tidak menekuninya.

Jadi apa jawabannya? Nggak ada, karena menyumbat keran itu begitu saja juga bukan tindakan bijak! Kampanye? Itu perlu waktu lama selain perlu dana. Memang begitulah remaja, memang begitulah pemula. Biarkan saja mereka hura-hura sampai alam menyeleksinya. Biasanya yang gak bawa keindonesiaan sama sekali, karirnya gak lama, kok. Bentar juga ilang….berganti dengan yang baru untuk mengulang kesalahan yang sama.

Nah, di tengah situasi serba buntu begini, mungkin secara gagasan/ide gw masih bisa kasih jalan keluarnya. Mungkin ada baiknya gw mengajak para generasi baru mengenal apa dan siapa itu Lupus.

Tokoh fiksi terakhir yang lahir di negeri ini dan sukses adalah Lupus. Betul itu cerpen/novel, bukan komik. Tapi pada dasarnya sama. Sama-sama diperuntukan untuk remaja. Lupus kala itu amat mewakili remaja 80-90an. Kesuksesan Lupus membekas bagi pembacanya hingga mereka punya anak remaja. Lupus berlatar belakang sosial yang mirip dengan kebanyakan dari kita, menengah. Indonesia memang serba menengah, namanya juga negara berkembang. Indonesia bukan negara maju. Jadi buatlah yang serba menengah jika ingin kelihatan keindonesiaannya. Misalnya, bokek gak bisa beli pulsa, pulang kuliah jalan kaki, kecopetan, dipalak, pacaran ngumpet-ngumpet, dikejar-kejar bokapnya pacar dsb. Itulah Indonesia. Komikus Jepang gak bisa menyediakan itu. Selain beda kultur mereka juga beda tingkat pendidikan dan ekonomi. Mereka serba bagus, serba indah, baik dari ide maupun visual yang lagi-lagi konsep sinetron.

Begitulah temans, karena yang tahu masalah kita adalah kita sendiri, bukan orang Jepang.


Halo Reonites, ngomong2 Reon kan sering dapat masukan untuk bikin komik yang style gambarnya khas Indonesia. Nah Reon jadi pengen tau nih, style gambar khas Indonesia yang bagus menurut kalian itu yang kayak gimana? Kalo bisa sekalian sertakan link gambar yang dimaksud yah. Makasih masukannya

Jumat, 19 Juli 2013

Enjah : Variasi yang Menyegarkan



Enjah : Variasi yang Menyegarkan


Judul: Enjah

Penulis: Beng Rahadian/ Illustrator: Tomas Soejakto

Kategori:Novel Grafis

Penerbit: Cendana Art Media

Tahun: 2013



Jujur saja, sebenarnya gw agak khawatir untuk mengomentari komik ini. Bukan apa-apa, pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh para pengamat, jadi obyektifitasnya lebih terjamin.  Mereka juga biasanya lebih cermat, lebih tajam analisanya. Sementara gw, gw khawatir terasa kurang etis jika bicara terlalu jauh…(kurang etis tp tulisannya panjang gini…:P)

Tapi, baiklah, sudahlah, dilihat dari sisi baiknya saja, tapi coba renungkan dari sisi buruk (:P). Toh, para pengarangnya sudah meminta gw untuk berkomentar.

Pertama yang gw lakukan, ketika membuka lembar demi lembar dari buku yang gw beli…, gw beli ini adalah….mencari kelemahannya.  Seperti mas Suryorimba yang membolak-balik halaman, gw pun melakukannya. Tapi gw mencari kelemahannya. Secara keseluruhan tidak terlihat. Tapi pasti ada!
Sayang hingga ketika memutuskan untuk mereview-nya, gw belum menemukannya…
Tapi pasti ada!

Ok, kita mulai baca saja. Bukankah dengan begitu kita bisa segera…,segera melihat bolong-bolongnya? :P
:Dari segi cerita, sebenarnya gw sudah lama sekali tak membaca komik horor. Mungkin terakhir kali membacanya di kelas 1 SD. Meski begitu, untuk film, gw sering menyaksikannya. Hanya saja yang gw dapatkan hanyalah kejutan-kejutan tak berkesan, bukan sesuatu yang menghantui tidur. Mungkin karena selama ini gw nonton film horor barat yang notabene-nya berbeda kepercayaan dan budaya dengan gw. Menurut gw, cerita horor sangat erat kaitannya dengan dua hal itu, minimal dengan kepercayaan.
Bagaimana dengan Enjah? Terus terang gw cukup merasakan ketegangan itu. Dan yang menarik, setelah Rama membasuh wajahnya dengan air baskom, mendadak ia menjadi orang ‘pintar’. Ternyata di sekelilingnya banyak sekali ‘peristiwa’ yang terjadi. Gw yakin kita sendiri pun saat ini mengalami hal itu, hanya saja kita tak bisa melihatnya. Nah, dari sini gw rasa komik ini mampu membangkit atmosfir horor, terutama bagi para penikmatnya.

Kesan yang lain dalam membaca Enjah, gw menilai mereka berdua sefaham dengan gw dalam menuangkan gagasan ke dalam visual. Meminimalisir dialog dan memperbanyak rentetan adegan. Gak apa-apa komik jadi tebel, kan itu urusan si pemilik modal. Jadi ini mirip film. Orang menyebutnya filmis. Gaya ini biasa ditemukan di komik-komik Jepang/manga, tetapi syukurlah sang pelukis memakai gaya visual sendiri yang jauh dari bau-bau Jepang.  Memang sebaiknya begitu, ambillah yang perlu dan buang jauh-jauh yang tak perlu.

Hanya saja sayang, dalam Enjah kita perlu waktu lebih untuk memahami gambar. Padahal menurut gw harus sebaliknya, gambar mempermudah segala-galanya. Ini penting, karena begitu halaman-halaman awal terlalui dengan baik, komik itu punya peluang untuk disukai. Tetapi jika halaman awal sudah membingungkan, kita khawatir akan banyak yang meninggalkannya.
 
Sebagai cttn : kecuali halaman 45, di mana ada penumpukan dialog, saling bersahutan. Ini gaya komik lama yang tak pernah gw temui dari komikus “lulusan”manga. Gw pribadi tak ingin ada lebih dari tiga balon dalam satu panel. Lebih dari tiga balon gw anggap panel itu 'mati'.

Kemudian, penulis juga pintar memainkan efek kejut. Terutama penempatan gambar spread. Gw suka komik yang ada gambar spread, di sini ada efek kejut, terlepas temanya apa. Ada totalitas yang lebih biasanya. Beberapa komik, bahkan impor, gw liat lemah dalam hal ini, mungkin karena tipis. Teksnya banyak padahal gambar sudah “nyelonong” memberi clue tentang apa yang terjadi.  Nah, lagi-lagi gaya filmis Jepang punya keunggulan di sini.
Setting komik ini sangat jelas, Yogjakarta. Arsitektur rumah dan gedung sudah menunjukkan. Kadang seperti menonton Losmen bu Broto. Pintu, lemari, jendela persis seperti yang ada sesungguhnya. Sebuah kerja berat tapi mengasyikkan, tentu saja. Gw rasa, gw sendiri tak sedetail itu.


Cttn : Dari penggambaran tokoh makhluk halus dengan menghitamkan mata dan kerutan di sekitar alis cukup menunjukkan komikus ini mengenal ‘medan’. Hanya, gw pribadi lebih suka arsiran yang secukupnya saja. Arsiran yang banyak membuat komik terasa ‘berat’. Untuk pertimbangan pasar ada baiknya sedikit memikirkan selera pembaca yang lain. Toh kalau memang sukanya begitu, bisa ‘mengorban’kan halaman tertentu untuk pol-polan arsir. Misalnya di halaman spread…
Akhirnya, secara umum komik ini sudah sangat baik. Menurut gw, ini variasi yang menyegarkan dari keseragaman jenis komik yang berserakan di pasar. Mudah-mudahan makin banyak yang bisa menerbitkan komik seperti ini, termasuk gw sendiri.

Sebenarnya masih ada hal-hal kecil yang bisa dijadikan keluhan, misalnya glosarium sebaiknya tidak ada kecuali untuk menjelaskan kata yang perlu ruang lebih luas. Jika penjelasan hanya sepatah-dua patah kata sebaiknya catatan kaki saja. Alasannya sederhana, supaya gak bolak-balik dan pembaca bisa langsung 'tancap gas'.
Lalu, kata silahkan seharusnya ditulis silakan. Di KBBI kata dasarnya sila. Menurut gw itu kesalahan tidak seperti kata lihat yang menjadi liat, tahu menjadi tau, cepat menjadi cepet dsb. Perubahan kata menjadi lebih sederhana ini biasanya bisa menunjukkan siapa yang bicara. Apakah anak kecil, orang kecil, orang berpendidikan, pejabat, pelacur dll.  Selebihnya penempatan koma...koma, ya oke deh...ga terlalu fenting.

Kini, haruskah ada pertanyaan?
Ok, jika ada...kenapa ya proses menggambar Angi merupakan yang paling sulit, sementara Tono paling mudah?

Lalu banyak kata yang dicetak tebal, kenapa ya? Gw kira itu tadinya tercatat di glosarium, tapi karena banyak gw pikir tidak mungkin...


Begitulah, temanssss.... mungkin kadang ngawur… Jika terkesan asal, anggap aja ini tulisan penunggu waktu berbuka puasa:)

190713

Rabu, 15 Mei 2013

Compliance 2012


Jadi Spoiler lg, ah…
Film kali ini adalah Compliance (2012), ada yg dah nonton?

Di Indonesia bukan rahasia lagi kalo polisi cenderung dijauhi masyarakat. Lebih baik ga berurusan dengan alasan ga mau repot, takut dicurigai, takut urusan, tidak menyederhanakan masalah dan segudang yang jelek-jelek menanti di belakangnya. Ternyata, hal ini ga terjadi Cuma di Indonesia, di Amerika pun setali tiga uang.

Dalam Compliance (2012), hadir dua tokoh utama yang keduanya bekerja di sebuah restoran, Sandra dan Becky. Sandra adalah manajer restoran, berusia kisaran 50, tidak menikah namun memiliki tunangan. Dia manajer yang baik, dalam arti sebenarnya. Semangat, disiplin, taat peraturan dan tak pilih kasih pada bawahannya. Profesional-lah, kata orang.

Becky berbanding terbalik dengan Sandra yang mirip nenek-nenek. Becky gadis paling cantik di antara para karyawan dan biasa bertugas sebagai kasir. Ia berteman baik dengan Kevin, pelayan di sana, tetapi tidak pacaran.

Suatu ketika, di malam Sabtu, restoran dijejali pengunjung. Ketika mereka semua tengah sibuk, Sandra menerima telepon dari polisi bernama Daniels. Daniels berkata bahwa ia tengah didatangi seorang wanita yang merasa kecopetan di restoran Sandra. Penjelasannya diperkuat bahwa ia sudah menelepon atasan Sandra akan peristiwa ini. Atasan Sandra meyakinkannya bahwa segala urusan bs diselesaikan oleh Sandra. Jadi Daniels beralih padanya. Apakah Sandra bisa membantu? Tentu saja, Sandra yang taat hukum segera menunjukkan diri sebagai warga negara yang baik. Daniels lalu membeberkan persoalannya.

Daniels menjelaskan, seorang wanita yang membuat pengaduan mencurigai karyawan Sandra sendiri yang mencopet ketika ia berada di restoran itu beberapa jam yang lalu. Ciri-ciri karyawan itu mengarah pada Becky. Daniels bertanya, bisakah Sandra membantunya sementara, mengamankan Becky hingga ia datang? Sandra menjawab dengan yakin, bisa! Namanya juga orang yg taat hukum. Tak lama kemudian Becky pun dipanggil dan dibawa ke kamar belakang.

Tak ada siapa pun yang hadir di kamar belakang kecuali Sandra dan Becky, plus Daniels via telepon. Becky membantah jika ia sudah mencuri. Ketidakjujuran Becky memaksa Daniels meminta Sandra untuk menggeledah pakaian Sandra dan menyita seluruhnya, termasuk pakaian dalam. Becky mencoba berontak, tapi Sandra siap memecatnya. Bagi Sandra, kejujuran adalah hal utama baginya dalam mempekerjakan karyawan. Luar biasa, manajer teladan…:P

Setelah penggeladahan, Sandra melaporkan pada Daniels bahwa ia tak menemukan apa-apa dalam pakaian Becky. Daniels tak percaya. Ia akan segera datang untuk menangani sendiri, tapi ia tak jelaskan kapan waktunya. Ia minta Sandra tetap mengawasi Becky agar tidak kabur. Untuk hal yang satu ini Sandra dengan sopan keberatan sebab ia sibuk. Jika begitu, silakan pilih orang lain menggantikan tugasnya menjaga Becky. Daniels menyarankan seorang pria agar Becky sulit menaklukkannya. Maka, dipilihnya Kevin. Celakanya, Daniels melarang Sandra mengembalikan pakaian Becky, dengan alasan sebagai barang bukti.

Kevin datang dari dapur dengan kebingungan yang dalam. Ia menerima telepon Daniels, dan dengan alasan menghormati Becky yang tanpa pakaian ia menolak tugas ini. Dia berkata semua ini omong kosong. Kevin akhirnya dikembalikan ke dapur, dan Sandra memilih Evan, tunangannya sendiri untuk menjaga Becky.

Evan datang dari nongkrong-nongkrong di luar. Setengah mabuk, dan tak mengerti mengapa ia dipanggil. Evan mencoba mengikuti permintaan Sandra dengan baik, meski sedikit mabuk, dan ia mencoba konsen dengan perkataan Daniels di telepon. Daniels memintanya memeriksa tubuh Becky tanpa menjelaskan bahwa Sandra sudah melakukannya tadi. Evan semula agak ga enak karena Becky hanya memakai celemek. Tapi ia tak kuasa menolak permintaan polisi. Maka setelah beberapa kali disuruh begini-begitu oleh Daniels, Evan meniduri Becky.

Ketika Sandra datang untuk mengecek, semua sudah terjadi. Evan merasa berdosa dan memilih kabur dalam diam. Sandra jd bingung. Dan karena ia masih sibuk, ia minta pria lain lagi untuk menjaga Becky. Kali ini Harold, petugas tanki restoran yang ia panggil. Harold, seperti juga pria-pria sebelumnya, bingung kenapa dipanggil. Tapi Harold lebih cerdas , atau lebih berani, berurusan dengan polisi. Menurutnya, ini jelas-jelas nggak bener. Dan memeriksa tubuh Becky jelas tindakan amoral. Kecamannya ini menyadarkan Sandra. Baru saat itu ia sadar (euleeh...euleeh...), mungkin saja itu polisi gadungan. Sandra segera menelepon atasannya, dan tahulah dia bahwa di balik profesionalisme kerjanya ada kebodohan yang dalam…:P
Tak lama kemudian polisi sesungguhnya bergerak. Dan ternyata, terungkap kemudian ada sekitar 70 kasus semacam ini terjadi di seluruh negara bagian AS…

Kamis, 10 Januari 2013

Untuk Sahabat Lama

Dulu pernah punya teman, kenal di SMA. Dia sering ngotot untuk ikut setiap kali gw mau ke penerbitan. Mungkin dia berharap gw berhasil dan ingin menjadi saksi atas keberhasilan itu. Kami sama sekali ga tau, berhasil itu kayak apa? Banyak duit? Ngetop? Ga tau, taunya cuma kayak Hilman (Lupus). Prosesnya gimana? Gelap abis. Gw sering keberatan dia ikut, karena biasanya gw pulang dengan tangan hampa. Tp dia ttp saja mau ikut. Keliatannya, dia ga mau suatu saat menyesal, hehe...

Sekali waktu kami datang ke salah satu penerbit, eh editornya meeting. Kami tunggu dari jam satu sampai jam lima. Capeknya jangan tanya! Dan si editor cuma nyediain waktu kurang dari 5 menit. Temen gw itu pasti kesal sekali, tp dia cb tahan, sesabar-sabarnya..., gw jd ga enak. Abis mau gimana?

Sekarang, penerbitnya dah tembus, tp temen gw itu ga ada di sisi. Dia entah di mana, selepas SMA. Sampe sekarang ga pernah ketemu. Sedihnya, fakta yg didapat setelah tembus itu jauh sekali dari harapan. Gw ga bs balas kesabarannya menemani gw berjam2 itu. Jangan2 sekarang dia malah lebih sukses. Gw cuma bisa balas dengan memakai namanya untuk tokoh karangan gw di kemudian hari, Ahmad Faisal :)