Senin, 12 November 2012

Komik Indonesia, di Kanan, Kiri atau Tengah

Mungkin beruntung atau mungkin justru merugi, saya mulai aktif ngomik di tengah kekosongan dunia komik Indonesia.Tepatnya awal tahun 90-an. Kenapa saya bilang ini mungkin sebuah keberuntungan? Jawabannya nanti. Saya perlu orang lain yang turut menilai saya beruntung atau tidak. Tetapi untuk pertanyaan kenapa merugi, saya bisa jawab sendiri, yakni karena “pusara” komik Indonesia belum lagi kering ketika saya malah menentukan dunia komik sebagai masa depan. Sebagian orang mungkin menilai saya tak hanya merugi, tetapi juga bodoh. Terutama dari kacamata orang tua dan para guru yang telah mengingatkan. Namun apa mau dikata, saya memang lahir dan tumbuh pada saat itu. Rugi tinggal rugi, bodoh tinggal bodoh. Buat apa beruntung atau pintar jika tak sesuai hati nurani? Dan pastinya, saya tak sendirian kala itu.

Saya memulai “karir” ngomik saya dengan mendatangi Harian Pos Kota, di mana ada Lembergar (Lembar Bergambar, red) sebagai sisipannya. Kenapa Pos Kota? Karena ketika itu hanya Pos Kota yang paling mungkin untuk memulai karir. Terbit setiap hari dan menyediakan space yang cukup banyak untuk ukuran saat itu (empat halaman). Penerbit komik? Ada, tapi saya kurang pe-de. Saya masih berseragam putih-abu-abu dan masih malu-malu. Ke Pos Kota juga malu, tapi saya nekat saja. Dalam hidup ini sering sekali saya nekat. Tak heran sering salah tingkah karenanya.

Di Pos Kota, Redakturnya: Pak Amir Bait, menyambut baik. Tetapi beliau memberi saran, jangan menggambar manga. Saya belum paham, yang mana manga dan yang mana bukan manga. Mulailah dengan berlatih menggambar seperti ini, kata pak Amir. Dia menunjukkan komik-komik jadul yang beraliran realis. Mungkin kalian tertawa, saya ketika itu hanya mangut-mangut saja. Pada kesempatan berikutnya, gambar saya masih tetap dinilai manga oleh beliau. Dia tidak alergi pada manga, hanya menyarankan jangan belajar dari manga. “Bawa pulang lagi, deh!”. Mungkin begitu dalam benaknya. Saya kemudian mencoba mengikuti sarannya. Hasilnya? Tetap saja dibilang manga. Saya kemudian “kultum” (Kuliah Tujuh Menit, red) oleh beliau sebelum pulang. Dia mengajari arsir dan ngeblok hitam. Tetapi setelah itu, karya saya teteeeep dibilang manga.

Sementara, penerbit yang saya tahu pada saat itu adalah Misurind, Indira dan Aya Media Pustaka. Sambil menunggu jawaban dari Pos Kota, saya mendatangi penerbit yang berhasil saya temukan alamatnya. Salah satunya Misurind. Sayang mereka tidak tertarik dengan komik lokal. Mereka menjelaskan kondisinya sehingga tak mungkin menerbitkan karya saya. Kecewa? Jelas! Meski demikian, saya belum kapok. Saya lalu pergi ke Indira danAya Media Pustaka, yang memberi jawaban mereka kurang lebih sama.

Tahun berikutnya, saya mulai mengenal Elex dan M&C Gramedia. Di Elex saya bertemu dengan Mbak Retno. Beliau meminta saya membuat komik dengan style manga seperti Candy-Candy. Saya menerima dan yakin saja, toh Pak Amir menilai gambar saya manga. Tetapi hasilnya, masih jauh dari harapan. Mungkin mereka menganggap gambar saya memang manga.Tetapi manga (mangga) mentah. Masih asem, haha!

Sambil menunggu nasib saya di Elex berikutnya, saya ke M&C. Di sana bertemu ibu Tineke Latumeten dan Pak Rahardjo Sn. Agak heran saya, karena pak Rahardjo terkejut-kejut melihat gambar manga ala saya. M&C ketika itu memang belum menerbitkan komik manga. Beliau menilai saya sudah sanggup menggambar tubuh, tapi ancur di wajah. Sekali lagi saya mendapat “kultum” dari pihak yang saya datangi. Terimakasih bapak-bapak yang meluangkan waktunya buat saya. Dan ilmu yang saya bawa pulang itu, dari kedua bapak-bapak di atas, pada dasarnya sama, mulailah menggambar dengan benar. Dengan kata lain, jauhi manga.

Saya mencoba merenungi apa yang saya dapat dari penerbit. Bingung, karena tak ada rekan bicara, saya mengambil jalan tengah. Manga tak saya tinggalkan tetapi masukan yang saya terima pun tak saya kesampingkan. Saya banyak belajar dari City Hunter yang semi realis dan Sanctuary yang realis. Bersamaan itu saya mendengar bahwa ada sebuah studio bernama QN dengan Caroq-nya. Di sana saya mengenal Firmansyah Rachim (Si Om) dan mulai mendengar nama Thoriq. Selera mereka sangat-sangat Amerika. Saya seperti pergi ke planet yang lain dan para alien di sana juga melihat saya seperti seorang alien yang datang ke planet mereka. Karena kurang nyambung, saya tak rutin mendatangi QN. Kami baru bertemulagi ketika MKI (Masyarakat Komik Indonesia) berdiri beberapa tahun kemudian dan saya mengikuti workshop yang mereka adakan. Selesai workshop, saya diundang untuk bergabung di MKI.

Di MKI, berbagai aliran komik bermunculan dari simpatisan yang diundang. Awalnya kami rutin berkumpul setiap Sabtu. Pelan-pelan tergambar, ada dikotomi di sana, meski tidak terang-terangan. Saya tetap merasa sendiri, meski sudah di tengah-tengah para komikus. WahyuSugianto, Ketua MKI, tak pernah memperlihatkan bahwa ia pro kemana. Satu hal, kelompok manga, bisa dibilang tak pernah muncul di sekretariat MKI. Mereka baru kelihatan ketika pameran berlangsung. Sulit sekali membuat mereka blending (berbaur, red) dengan yang lain. Sebaliknya, yang lain juga sulit blending kekelompok manga, meski tak ada usaha serius untuk hal itu. Saya merasa ada di tengah-tengah, tempat yang sepertinya tak ada yang mau menempati.

Kini, setelah 10 tahun berlalu, saya memutuskan jalan sendiri. Saya tak menutup kemungkinan bekerjasama dengan siapa pun, tapi dengan dualisme di atas, saya lebih yakin menjalaninya seorang diri. Saya tidak tahu sampai kapan ini terjadi, dan kelak orang asing akan mengenal komik Indonesia seperti apa? Seperti Jepang atau seperti Amerika? Baik kah seperti Jepang atau seperti Amerika? Kenapa tidak dicoba untuk, seperti Indonesia! Apakah ini sepertidunia sepakbola profesioanal yang mengenal LPI (Liga Premiere Indonesia) dan ISL (Indonesian Super League), saya tidak mau berpolemik yang membuat saya keteteran dalam berkarya. Saya hanya bisa berharap, karya para komikus senior kita, seperti Pak Man, Pak Gerdi WK, Pak Hans Jaladara dll, ada benang merahnya yang diukir generasi penerus. Bukan seperti orde baru yang melupakan orde lama.

Bayu Indie, Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar